Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tiga Lawan Terberat Jokowi

5 Februari 2019   13:41 Diperbarui: 5 Februari 2019   14:09 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"... semacam ada "tangan tak terlihat" yang sedikit-sedikit menggeser kursi Jokowi saat ia sedang berdiri menyampaikan orasi. Ia baru menyadarinya saat terjengkang, dan di belakangnya sudah tak ada lagi kursi. Bisa jadi... "

Semakin hari, semakin mendekati hajatan lima tahunan bernama Pilpres, persaingan kedua kubu semakin memanas, meski pada satu sisi, isu-isu yang dibangun tetap enas. Tampaknya, tiap kubu hanya berupaya untuk melawan serangan-serangan parsial, yang beberapa bagiannya berujung blunder dan sial.

Jokowi, yang bergandengan dengan Kiai Ma'ruf Amin, kali ini menjadi sosok yang lebih "tidak tahan", dan kerap kali menunjukkan sikap yang emosional. Jokowi kerap melancarkan jawaban-jawaban menusuk yang sifatnya menyerang. Jika dulu, sesekali saja ia menjawab tuduhan soal hoaks PKI, sekarang ia menunjukkan sikap yang berbeda. Beberapa isu kemudian berbalas jawaban tak biasa.

Dalam sebuah statement, tegas ia mengatakan "dikira saya takut", untuk menunjukkan sikap berani dan perlawanannya terhadap beberapa isu yang digulirkan. Lihat saja dalam debat pertama, Jokowi terlihat lebih gemar melakukan bantahan sekaligus serangan: sesuatu yang jarang sekali kita lihat dulu, setidaknya beberapa waktu lalu. Entah sejak kapan metamorfosa itu dimulai. Jokowi seakan ingin menunjukkan, inilah saatnya. Entah saat untuk apa!

Tapi, sebagai petahana yang sedang berkuasa, kebijakan dan programnya sebagian sudah dirasa dan sebagiannya sekedar cuap-cuap saja, wajar jika Jokowi mulai tampil menyerang. Sebab jika tidak begitu, ia akan diserang. Pertahanan terbaiknya adalah menyerang, sebelum lawan mengeluarkan narasi lebih awal.

Posisi Jokowi sekarang tak sebagaimana 2014 lalu yang sama-sama masih menjual mimpi, imajinasi, dan janji soal membangun Indonesia. Ia sudah diberi kuasa, dan tugas rakyat adalah menagihnya. Bukankah Jokowi kerap kali mengatakan, bahwa rakyat Indonesia sudah cerdas? Dan kalimat ini sedang bekerja memakan tuannya sendiri, dengan menagih janji dan mengkritisi. Maka, menagih dan mengkritisi mestinya menjadi hal yang biasa terkecuali Jokowi menarik kalimatnya (lagi).

Maka, sejatinya, lawan terberat Jokowi bukan (hanya) Prabowo-Sandi an sich, tapi beberapa elemen lain yang jika dibiarkan akan mampu merontokkannya, dan itu mulai terlihat gejalanya.

Gejala kegagapan petahana menghadapi realitas politik yang ada dan berpotensi menjungkalkannya secara perlahan. Semacam ada "tangan tak terlihat" yang sedikit-sedikit menggeser kursi Jokowi saat ia sedang berdiri menyampaikan orasi. Ia baru menyadarinya saat terjengkang, dan di belakangnya sudah tak ada lagi kursi.

Maka, bagi saya, ada tiga lawan berat Jokowi-Ma'ruf yang berpotensi mengacak-acak "kemapanan" yang selama ini dipersepsikan.

Pertama, tentu saja Prabowo-Sandi. Ini jelas merupakan lawan yang berat. Prabowo memiliki pendukung dan pemilih yang militan dan mengakar. Ia mampu memainkan "kartu" di tengah-tengah pemilih muslim, meski kerap diserang dengan isu keislaman. Inilah yang ditakuti oleh Jokowi dan orang-orangnya. Munculnya nama Kiai Ma'ruf Amin, bagaimanapun upaya naratif untuk "ngeles", tetap tak bisa dipungkiri sebagai respon dari kekhawatiran ini.

Termasuk juga munculnya isu Prabowo didukung orang-orang radikal, Prabowo tidak bisa ngaji dan tidak shalat, Prabowo merayakan Natal bersama keluarga adalah bagian dari upaya untuk mereduksi suara pemilih muslim terhadap oposisi. Sementara pada sisi yang lain, Prabowo tampil sebagai sosok yang tidak reaktif. Ia justru menampilkan diri sebagai sosok yang "tidak radikal" melalui kebersamaan dengan keluarga non-muslimnya dan menanggapi soal isu tidak shalat, tidak menjadi imam, tidak ngaji secara santai.

Tidak seperti Jokowi yang pada akhirnya terlihat "memaksakan" diri untuk "fasih", meski akhirnya berbuntut lelucon dan gorengan: seperti al-fatekah dan Jaenudin Ngaciro, misalnya. Atau mungkin upaya upload dari pendukung Jokowi saat Jokowi menjadi Imam, sedang shalat, pengajian dengan ulama-ulama dan habaib, atau yang lainnya. 

Terlihat sekali, bahwa itu merupakan bentuk kekhawatiran sekaligus upaya untuk mempertahankan pemilih muslim yang sangat dominan. Jokowi, dalam sebuah analisa, telah berusaha untuk menjadi "kanan", sedemikian rupa.

Prabowo dianggap lekat dan lengket dengan pemilih muslim yang militan. Hal ini semakin terlihat "asyik" ketika muncul Sandiaga Uno yang semakin mendongkrak dan membuat kesengsem banyak orang dengan gaya hidupnya. Terlebih, Sandi menjadi sosok pembeda yang muda dan enerjik karena sudah mengunjungi ribuan lokasi untuk berkampanye.

Tentu saja hal ini dapat mengganggu Jokowi secara signifikan, meski kita tahu, bahwa Prabowo-Sandi juga kerap melakukan blunder dan kesalahan, tapi kubu Jokowi terlihat begitu keras untuk mengatasi persoalan pemilih muslim, isu keislaman, dan keberpihakan terhadap simpul-simpul keagamaan ini.

Terlebih lagi, soal media yang sudah tersaingi. Dulu, Jokowi begitu menguasai media, terutama media sosial. Itulah yang menjadi salah satu sebab ia menang. Tapi sekarang, media sosial yang semakin liar justru secara perlahan dikuasai oleh oposisi dengan interaction rate yang tinggi. Soal ini, Tirto.id sudah pernah menganalisanya, bahwa di medsos, pihak oposisi mulai tampil militan, sebab interaksi dan kekompakannya jelas. Petahana harus melawannya dengan melibatkan akun-akun robot. 

Jika tidak begitu, tak akan mampu. Bukan berarti oposisi juga tidak menggunakan akun-akun robot, tapi lebih sedikit dibandingkan kubu pendukung petahana. Artinya, boleh jadi petahana menguasai media mainstream, tapi tidak dengan medsos. Sebab kubu Prabowo lebih kuat dalam konteks real user.

Kedua, golongan putih (Golput). Terlihat sekali bagaimana kampanye anti-golput ini begitu gencar dilakukan, dan yang paling gencar melakukannya adalah kubu Jokowi. Ancaman ini muncul dari kalangan milenial yang mempunyai jumlah cukup signifikan untuk mempengaruhi perolehan suara. Mereka adalah kelompok yang menganggap Pilpres ini hanya sebatas janji dan wacana biasa, tak ada realisasi nyata.

Kekhawatiran semakin menjadi ketika muncul calon alternatif tidak resmi bernama Nurhadi-Aldo (Dildo) yang secara mengejutkan mendapatkan respon luar biasa, terutama dari kaum milenial. 

Saya melihat, munculnya pasangan Dildo dengan nomor urut 10 ini sebagai satire dan parodi untuk politik yg menjemukan dan memuakkan; melahirkan polarisasi yg begitu kental, sementara visi-misi dan programnya tak bisa dipertanggung-jawabkan. 

Capres-Cawapres itu tak pernah benar-benar serius, kecuali hanya saling nyinyir. Satu-satunya yg serius adalah cara mereka mengaduk-aduk emosi dan psikis rakyat.

Jelas yang paling dirugikan adalah kubu Jokowi, yang kemudian menganggap munculnya Dildo ini sebagai ancaman yang serius karena dapat memperbanyak angka golput.

Kenapa kubu Jokowi? Karena Jokowi tak seperti dulu lagi, saat masih sama-sama menawarkan mimpi dan menjelaskan visi-misi. Posisinya adalah petahana, bersama kebijakan serta prestasi yang kerap dijualnya. Sementara itu, ada jutaan pemilihnya yang kecewa dengan kinerjanya seberapa hebatnya-pun penguasa meracik narasinya. 

Mereka bimbang, mereka galau. Jokowi sudah mengecewakan, sementara Prabowo belum bisa menjadi pilihan. Bahaya jika mereka golput, alih-alih beralih ke oposisi. Adanya ide untuk memberikan fasilitas, diskon harga ticket, dll (menurut hemat saya) adalah bagian dari upaya untuk mengurangi risiko ini.

Padahal, dalam film-film, golongan putih itu pahlawan yang siap bertarung dengan golongan hitam. Sejak kapan Golput dilarang? Lalu kenapa golongan putih mesti dimusuhi? Apakah ini bagian dari propaganda golongan hitam? (Catatan: ini hanya intermezzo dan candaan )

Ketiga, dan ini yang paling berat, yaitu; bahwa sejatinya, musuh terberat Jokowi adalah dirinya sendiri; kebijakan dan janji-janjinya sendiri; dan tentu saja orang-orang di lingkarannya sendiri. Jokowi disibukkan dengan dirinya sendiri, justru saat lawan berat yang lain mulai menunjukkan posisinya.

Kita akui dan apresiasi beberapa kerja Jokowi, tapi kita harus juga mempertanyakan soal janji-janji, terutama kalimat-kalimat manis yang mampu merayu rakyat untuk memilihnya dulu. Saya tidak dalam posisi untuk mengurai satu persatu janji-janji yang tidak ditepati, di Google sudah banyak dan begitu terperinci. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa meski kita kerap berbohong dan mengingkari janji, tapi kita sepakat, bahwa dibohongi itu tetap menyakitkan. Akan semakin menjadi-jadi saat pengingkaran terhadap janji itu berhasil dikapitalisasi.

Semua itu berlanjut, ketika Jokowi kerap melakukan blunder dan kesalahan yang berkaitan dengan program dan kebijakannya, lalu bersembunyi di balik tangan orang lain atau mungkin secara normatif melarikannya kepada "biarkan hukum" yang berbicara. Pada akhirnya, beberapa dari kebijakan itu lebih tampak sebagai sesuatu yang grusa-grusu dan dipaksakan untuk dibilang populis.

Saya tidak ingin menyinggung soal kriminalisasi atau "makarisasi", tapi beberapa peristiwa yang terjadi membuat kita mungkin bertanya, dalam hati atau pakai suara. 

Misal, soal pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, soal pemberian remisi terhadap pembunuhan wartawan, soal pembentukan tim pencari fakta kasus Novel Baswedan, soal "propaganda rusia" yang sedang hangat-hangatnya (ini menyangkut bilateral), dan soal-soal lain yang sifatnya lebih tampak sebagai kebijakan sementara untuk meraup suara.

Belum lagi soal orang-orang di lingkaran Jokowi yang kadang kontra-produktif, menyemburkan isu-isu tak substantif, dan kadang "melampaui" kewenangannya. Pertentangan soal impor beras antar lembaga negara, "candaan" soal siapa yang menggajimu, statement dan meme-meme arogan soal tol, serta peristiwa lain yang berupa kesalahan-kesalahan elementer, tapi semacam "konsisten" di lakukan. Termasuk kesan "perilaku berlebihan" terhadap lawan politik atau yang berseberangan.

Artinya, saat Jokowi ekstra keras menghadapi Prabowo-Sandi, ia justru harus menghadapi lawan lain yang tak kalah ganasnya, yaitu potensi golput yang merugikan dan melawan dirinya sendiri. Janji dan kebijakannya, serta orang-orang "berlebihan" yang berada di lingkarannya, atau mungkin para pemain di balik layar pertunjukannya. Potensi-potensi itulah yang dapat menggerus elektabilitas dan suaranya secara perlahan.

Mengakhiri tulisan ini, saya teringat pada rumus dasar dalam pertandingan, yaitu bahwa setiap kekalahan hampir selalu dimulai dengan kesalahan. Dalam sepak bola, yang sebelumnya unggul bisa tertunduk lesu karena melakukan kesalahan-kesalahan elementer di ujung-ujung pertandingan. 

Bayern Munchen pernah merasakaannya saat dikalahkan Manchester United, AC Milan saat akhirnya ditekuk Liverpool, Atletico Madrid saat Ramos menyamakan kedudukan dan akhirnya Real Madrid menang. Jangan lupa juga, bahwa terlalu jumawa akan menang adalah terbaiknya kesalahan.

Tulisan ini hanya analisa subjektif melalui sempitnya pengamatan penulis, yang hanya sebagai kuli besi. Bukan ahli-analis politik, pengamat politik, apalagi konsultan politik.

Lapak Besi, 04 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun