Termasuk juga munculnya isu Prabowo didukung orang-orang radikal, Prabowo tidak bisa ngaji dan tidak shalat, Prabowo merayakan Natal bersama keluarga adalah bagian dari upaya untuk mereduksi suara pemilih muslim terhadap oposisi. Sementara pada sisi yang lain, Prabowo tampil sebagai sosok yang tidak reaktif. Ia justru menampilkan diri sebagai sosok yang "tidak radikal" melalui kebersamaan dengan keluarga non-muslimnya dan menanggapi soal isu tidak shalat, tidak menjadi imam, tidak ngaji secara santai.
Tidak seperti Jokowi yang pada akhirnya terlihat "memaksakan" diri untuk "fasih", meski akhirnya berbuntut lelucon dan gorengan: seperti al-fatekah dan Jaenudin Ngaciro, misalnya. Atau mungkin upaya upload dari pendukung Jokowi saat Jokowi menjadi Imam, sedang shalat, pengajian dengan ulama-ulama dan habaib, atau yang lainnya.Â
Terlihat sekali, bahwa itu merupakan bentuk kekhawatiran sekaligus upaya untuk mempertahankan pemilih muslim yang sangat dominan. Jokowi, dalam sebuah analisa, telah berusaha untuk menjadi "kanan", sedemikian rupa.
Prabowo dianggap lekat dan lengket dengan pemilih muslim yang militan. Hal ini semakin terlihat "asyik" ketika muncul Sandiaga Uno yang semakin mendongkrak dan membuat kesengsem banyak orang dengan gaya hidupnya. Terlebih, Sandi menjadi sosok pembeda yang muda dan enerjik karena sudah mengunjungi ribuan lokasi untuk berkampanye.
Tentu saja hal ini dapat mengganggu Jokowi secara signifikan, meski kita tahu, bahwa Prabowo-Sandi juga kerap melakukan blunder dan kesalahan, tapi kubu Jokowi terlihat begitu keras untuk mengatasi persoalan pemilih muslim, isu keislaman, dan keberpihakan terhadap simpul-simpul keagamaan ini.
Terlebih lagi, soal media yang sudah tersaingi. Dulu, Jokowi begitu menguasai media, terutama media sosial. Itulah yang menjadi salah satu sebab ia menang. Tapi sekarang, media sosial yang semakin liar justru secara perlahan dikuasai oleh oposisi dengan interaction rate yang tinggi. Soal ini, Tirto.id sudah pernah menganalisanya, bahwa di medsos, pihak oposisi mulai tampil militan, sebab interaksi dan kekompakannya jelas. Petahana harus melawannya dengan melibatkan akun-akun robot.Â
Jika tidak begitu, tak akan mampu. Bukan berarti oposisi juga tidak menggunakan akun-akun robot, tapi lebih sedikit dibandingkan kubu pendukung petahana. Artinya, boleh jadi petahana menguasai media mainstream, tapi tidak dengan medsos. Sebab kubu Prabowo lebih kuat dalam konteks real user.
Kedua, golongan putih (Golput). Terlihat sekali bagaimana kampanye anti-golput ini begitu gencar dilakukan, dan yang paling gencar melakukannya adalah kubu Jokowi. Ancaman ini muncul dari kalangan milenial yang mempunyai jumlah cukup signifikan untuk mempengaruhi perolehan suara. Mereka adalah kelompok yang menganggap Pilpres ini hanya sebatas janji dan wacana biasa, tak ada realisasi nyata.
Kekhawatiran semakin menjadi ketika muncul calon alternatif tidak resmi bernama Nurhadi-Aldo (Dildo) yang secara mengejutkan mendapatkan respon luar biasa, terutama dari kaum milenial.Â
Saya melihat, munculnya pasangan Dildo dengan nomor urut 10 ini sebagai satire dan parodi untuk politik yg menjemukan dan memuakkan; melahirkan polarisasi yg begitu kental, sementara visi-misi dan programnya tak bisa dipertanggung-jawabkan.Â
Capres-Cawapres itu tak pernah benar-benar serius, kecuali hanya saling nyinyir. Satu-satunya yg serius adalah cara mereka mengaduk-aduk emosi dan psikis rakyat.