Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... lainnya -

Mustam Arif, rakyat biasa dan penikmat media, tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Warga Tanakeke Mencoba Berdaya di Tangan Ponggawa

29 Mei 2015   16:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:28 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_386226" align="aligncenter" width="600" caption="Desa Tompotana, Kepulauan Tanakeke, Takalar yang dikelilingi budidaya rumput laut. (foto: mustamarif)"][/caption]

Untuk menambat ke Dermaga Desa Tompotana, kapal motor kami meniti ''koridor'' dibatasi botol-botol plastik. Bekas air minum kemasan ini menjadi pelampung bentangan tali budi daya rumput laut. Salah satu komoditas utama masyarakat Kepulauan Tanakeke. Botol-botol plastik mengapung rapi, hutan mangrove yang hijau, rumah penduduk warna-warni menyuguhkan pemandangan unik.

''Klik... klik... klik...,'' bunyi jepretan kamera bersahut-sahutan dari sekitar 40 jurnalis, fotografer dan blogger. Rombongan kami difasilitasi Oxfam mengunjungi Tanakeke, Sabtu (23/05/2015).

Sejumlah anak sekolah berseragam pramuka berbaris menyambut kami di batas daratan dan dermaga kayu kurang lebih 50 meter. Di halaman SD Tompotana, kepala desa dan masyarakat menyiapkan beberapa pendekar silat. Mereka pun beraksi menyemarakkan suasana pagi menuju terik itu.

Tanakeke adalah gugusan kepulauan di sebelah selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kepulauan di Kecamatan Mappakasunggu ini bisa ditempuh dari Makassar atau dari Pelabuhan Takalar Lama. Rombongan kami berangkat dari Dermaga Popsa, depan Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang). Sekitar tiga jam, waktu dibutuhkan kapal motor yang membawa kami ke Desa Tompotana. Di jalur yang sama bila menggunakan speed boat, bisa ditempuh satu hingga satu setengah jam.
Desa Tompotana adalah satu dari lima desa di Tanakeke. Empat desa lainnya masing-masing Mattiro Baji, Maccini Baji, Balangdatu, dan Rewataya. Tompotana adalah desa terdekat ke daratan Takalar. Tanakeke yang terdiri atas gugusan 12 pulau ini dalam proses pemekaran menjadi kecamatan sendiri.
Sebagian besar hasil laut di Takalar dipasok dari Tanakeke. Selain punya potensi hutan mangrove (bakau), Tanakeke yang dalam bahasa Makassar berarti 'tanah yang digali' ini juga menjadi sumber perikanan, kepiting, aneka kerang, teripang, bahkan mutiara.

Sejak dulu sumber daya alam laut dan pesisir di Tanakeke juga dipasok ke Makassar. Selaian ikan, kepiting, dan kerang-kerangan, kebutuhan arang kayu bakau atau kayu bangko di Makassar, disuplai dari Tanakeke. Bukan hanya dalam bentuk arang, mangrove batangan pun diangkut ke Makassar memenuhi berbagai kebutuhan.
Arang kayu bangko berkualitas bagus dari Tanakeke, turut menyumbang kisah deforestasi mangrove di kepulauan ini. Kesulitan ekonomi tahun 1990-an, membuat sebagian warga Tanakeke bergantung pada mangrove. Mereka terpaksa menebang untuk bisa makan dan memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari.
Kepunahan bakau Tanakeke memuncak ketika harga ikan bandeng melejit. Warga dari luar Tanakeke pun tergiur membabat hutan mangrove di kepulauan ini menjadi areal tambak. Tambak ketika itu menjadi lapangan ekonomi baru bagi masyarakat Tanakeke.

Namun, harapan itu tak bertahan lama. Pengembangan perikanan tambak di pulau ini tidak berkelanjutan. Harga ikan bandeng yang fluktuatif, harga kebutuhan tambak melambung tinggi. Selain itu penggunaan zat-zat kimia ikut menyumbang disfungsi tambak. Bukan hanya ikan bandeng tumpuan harapan yang terus berlalu. Ikan-ikan laut di pulau ini pun mulai berkurang karena habitatnya sebagian hutan mangrove telah lenyap. Masyarakat perlahan-lahan menyadarinya.

''Masyarakat di sini baru sadar kalau mencari ikan untuk makan sehari-hari mulai sulit saat itu,'' ungkap Tajuddin Daeng Erang, Kepala Desa Tompotana. Namun, tambah Tajuddin, mereka menghadapi situasi dilematis. Masyarakat mulai dilarang menebang mangrove, sementara mereka butuh makan.

Situasi mulai teratasi ketika ada bantuan pemerintah untuk pengembangan rumput laut di Tanakeke. Masyarakat perlahan-lahan beralih menjadi petani rumput laut, mulai akhir 2009.

Berada di perairan Selat Makassar dengan arus dinamis, Kepulauan Tanakeke sangat potensial untuk budi daya rumput laut. "Rumput laut di Tanakeke banyak dicari orang, karena kualitasnya beda dengan di tempat lain,'' ujar Tajuddin.

Komoditi rumput laut di Tanakeke perlahan-lahan mendongkrak ekonomi masyarakat setempat. Harga rumput laut yang stabil, tidak jatuh seperti komuditi lain, memberikan peningkatan pendapatan masyarakat Tanakeke. Selain menambah pendapatan, komoditi rumput laut juga membuka lapangan kerja baru. Rumput laut membuka kesempatan kerja suami dan istri. Suami memasang dan merawat rutin di laut, sementara untuk mengikat bibit ke bentangan tali dikerjakan sang istri.
Jeratan Ponggawa
Meski bisa meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka lapangan kerja, pengembangan rumput laut di Tanakeke belum bebas dari masalah. Persoalan utama antara lain kekurangan modal. Selain itu akses pemasaran yang terbatas.
Problem modal tidak terlepas dari sulitnya masyarakat mengakses sumber keuangan. Di negeri ini, tak bisa dimungkiri, masyarakat rentan ekonomi, tidak bisa mendapatkan bantuan bank. Meski pemerintah dan perbankan kerap bangga mengucurkan berbagai bantuan untuk usaha kecil dan menengah, masyarakat kecil terus menjerit. Bahkan bank mengategorikan sebagai kelompok rentan pinjaman. Di sisi lain, bertumpuk pula kredit macet di tengah-tengah masyarakat.

Terkait modal dan pemasaran, masyarakat Tanakeke pun terjebak realitas tengkulak. Penyebutan ''tengkulak'' merupakan sarkasme dari tradisi Ponggawa-Sawi.

Dalam masyarakat pesisir Bugis-Makassar, tradisi Ponggawa-Sawi adalah pola hubungan antara patron dan klien (patron-client). Ponggawa adalah bos atau pelindung yang siap memenuhi berbagai kebutuhan hidup sawi. Sementara sawi adalah anak buah siap menaati kehendak ponggawa. Dalam ranah sosial, hubungan ponggawa-sawi dibangun dalam konteks kekeluargaan saling menguntungkan (simbiosis-mutualisme). Keduanya terikat dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing.

Namun dalam pemberdayaan ekonomi, pola ponggawa-sawi berpotensi menciptakan ketidakadilan. Ketergantungan keduanya berproses dalam perangkap dilematis, dan keuntunganya lebih diperoleh kaum ponggawa. Ponggawa yang punya modal mengendalikan sawi. Sementara sawi tidak bisa punya pilihan lain, ketika terikat kesepakatan dengan ponggawa.

[caption id="attachment_386219" align="aligncenter" width="300" caption="Rumput laut membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu di Tanakeke. (foto: mustamarif)"]

14328893741687213522
14328893741687213522
[/caption]

Di Tanakeke, petani rumput laut diberi modal oleh ponggawa yang dalam implementasi lapangan lazim disebut juga pengumpul. Ponggawa memberi modal untuk pembelian bibit, tali, botol plastik dan lain-lain. Selain itu, jika sawi membutuhan biaya yang mendesak, ponggawa siap meminjamkan. Petani dan ponggawa mengikat kesepakatan pengembalian pinjaman dengan bunga tertentu. Selain itu, petani rumput laut tidak boleh menjual hasil panennya ke pihak lain.
Tiba masa panen, petani melunasi utang kepada ponggawa, baik pokok maupun bunganya. Ponggawa sering menetapkan harga rumput laut di bawah standar pasar. Petani rumput laut yang hasil penenya tidak mencukupi pengembalian pinjaman, berarti ia kembali berutang kepada ponggawa, nanti dilunasi pada musim panen berikutnya.

Jika musim panen berikutnya juga belum bisa dilunasi karena terakomulasi dengan bunga, maka utang petani rumput laut itu kembali bertambah. Apa yang terjadi? Dari musim ke musim utang sawi terus menumpuk bila hasil panen tidak maksimal.

Ketergantungan tidak adil ini terus terpelihara. Apa boleh buat. Ketika tidak ada sumber modal alternatif. Ketika bank tidak mampu diakses masyarakat rentan ekonomi. Ponggawa menjadi satu-satunya penyelamat.

Bantuan Bergulir

Saat Oxfam mendorong program peningkatan taraf penghidupan masyarakat pesisir, inisiatif ini juga menjadi harapan masyarakat Tanakeke. Sejak 2010, Program Restoring Coastal Livelihood (RCL) diimplementasikan Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Mangrove Action Project (MAP).

Salah satu kegiatan program yang akan berakhir di ujung 2015  ini adalah memperkuat dan memberdayakan petani rumput laut di Tanakeke. Kegiatan ini bertumpu pada pemberdayaan dan penguatan warga untuk bisa mandiri. Muara yang diharapkannya tentu bisa membawa warga bisa berdaya dan mandiri, terlepas dari jeratan masalah yang tak kunjung selesai.

Lewat RCL yang diimplementasikan di empat kabupaten, 13 kecamatan dan 31 desa, para petani rumput laut Tanakeke diberi modal dengan pola bantuan non tunai bergulir yang disebut Revolving In Kind. Lewat in kind, petani memperoleh bantuan berupa bibit rumput laut dan tali.

Para petani rumput laut juga didorong membentuk kelompok. Setiap kelompok beranggotakan minimal 10 orang. Kelompok ini menjadi wadah yang nantinya memasarkan hasil panen bersama.

Bantuan in kind yang diterima kelompok akan dikembalikan dengan cara menggulirkan lagi ke kelompok lain. Besarnya persentase pengembalian berdasarkan kesepakatan kelompok, dengan mempertimbangkan hasil panen. Selisih dari keuntungan kelompok ditabung untuk membiayai keperluan kelompok.

Lewat  pola ini, petani rumput laut Desa Tompotana menyatakan telah menikmati hasilnya. Selain telah menggulirkan bantuan ke penerima in kind yang baru, di antaranya sudah melunasi utang pada ponggawa. ''Dulu kami punya banyak utang, alhamdulillah setelah ada bantuan dan bersama kelompok, utang saya sudah lunas,'' ungkap seorang anggota kelompok perempuan pengelola rumput laut Desa Tompotana yang meminta tidak diungkap identitasnya.

Selain terhindar dari ketergantungan pada ponggawa, lewat kelompok, perempuan di Tanakeke juga didorong mengembangkan usaha alternatif. Mereka telah menghasilkan aneka keripik dari ikan, cumi-cumi dan kepiting. Hasil olahan ini telah dipasarkan untuk menambah pendapatan.

Dengan pengembangan ruput laut dan usaha alternatif lainnya, program RCL juga berkontribusi mengurangi ketergantungan masyarakat Tanakeke pada sumber daya mangrove. Harapannya tentu sumber penghidupan pesisir berbasis ekosistem mangrove ini bisa terus lestari. Bila awal 2010, sarana pembakaran arang mangrove masih banyak dijumpai, kini mulai berkurang. Tinggal beberapa yang masih bertahan, tetapi itu sudah dilakukan sesuai kesepakatan tebang ganti. ''Masyarakat sudah mulai sadar,'' kata Wahyuddin, salah seorang fasilitator RCL dari YKL. (baca: Ketika Pembuat Arang Tanakeke Malu Dipotret).

Kini masyarakat Tanakeke menikmati rezeki rumput laut sambil merehabilitasi 800 hektar hutan mangrove yang terdegradasi. Harapannya, ikan baronang, balana, serta kepiting laut segar dan lezat tetap dinikmati. Lauk istimewa yang juga disuguhkan kepada rombongan kami dibawa rumah panggung dengan tiupan angin laut yang membuai.

Menghindar dari jeratan tengkulak, bukan soal mudah bagi masyarakat Tanakeke. Sebab, hubungan ponggawa-sawi telah menjelma tradisi, dengan pola relasi saling menguntungkan dalam ketidakadilan. Ketika belum ada koperasi atau badan usaha milik desa. Ketika warga masih sulitnya mengakses bank, satu-satunya solusi kebutuhan mendesak adalah ponggawa.

Pertanyaanya kemudian, setelah RCL, petani rumput laut Tanakeke terus merenda daya dan kemaandirian? Ataukah kembali pada ''kemesraan'' ponggawa-sawi? (mustam arif)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun