Mohon tunggu...
Mussab Askarulloh
Mussab Askarulloh Mohon Tunggu... Editor - Sastra Indonesia

Menaruh perhatian pada budaya dan literasi, juga kesenian terutama sastra dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"Perempuan Penulis" atau "Penulis Perempuan"?

1 Februari 2021   14:17 Diperbarui: 18 April 2023   10:57 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak diumumkannya nama-nama pengarang yang menjadi nomine penerima penghargaan sastra Kemendikbud tahun 2020 lalu, banyak perdebatan yang muncul terhadapnya. Terutama isu mengenai tersingkirnya perempuan penulis dari panggung penghargaan tersebut. 

Hali itu utamanya disebabkan oleh tidak adanya satu pun nama perempuan penulis di dalam daftar pendek nomine penerima penghargaan itu. 

Terlepas perlu atau tidaknya isu itu digaungkan kembali, penggunaan istilah “perempuan penulis” cukup mencuri perhatian saya.

Jujur saja, saya cukup asing dengan pemakaian istilah “perempuan penulis” dibanding istilah “penulis perempuan”. 

Sudah sejak lama saya mendengar dan menggunakan istilah penulis perempuan untuk menyebut penulis yang berjenis kelamin perempuan. 

Mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, melihat bahwa kedua kata tersebut sebetulnya hanya dibolak-balik dan sekilas tetap memiliki makna dan maksud yang sama. Tapi, apakah memang betul sama?

Saya pernah mendengar sebuah pendapat dari salah satu narasumber pada sebuah webinar kebahasaan yang menerangkan bahwa istilah yang tepat untuk digunakan dalam konteks tersebut adalah “perempuan penulis”. 

Narasumber itu menerangkan, perbedaan di antara keduanya ialah bahwa “penulis perempuan” bisa dimaknai sebagai seorang penulis, baik laki-laki maupun perempuan, yang menulis tentang perempuan.

Sedangkan “perempuan penulis” dimaknai sebagai seorang perempuan yang berprofesi sebagai penulis. Jadi, untuk menyebut seorang perempuan yang berprofesi sebagai penulis, lebih tepat dan lebih baik menggunakan istilah “perempuan penulis”.

Bagi saya, penjelasan tersebut belum cukup memuaskan. Saya kemudian mencoba menganalisisnya sendiri dengan cara mencari perbandingan yang setara. 

Saya menemukan beberapa istilah yang mungkin dapat digunakan sebagai perbandingan sekaligus penyandingan. Yang pertama ialah “polwan” atau polisi wanita, istilah yang bermakna satuan polisi khusus yang berjenis kelamin wanita/perempuan. 

Istilah tersebut tercipta sebagai sebuah upaya diferensiasi berdasarkan gender, membedakannya dari satuan polisi yang berjenis kelamin laki-laki.

Jika kita menggunakan logika pemaknaan “penulis perempuan” seperti yang dijelaskan narasumber di atas, maka istilah polisi wanita dapat dimaknai sebagai satuan polisi, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengatur atau mengurusi persoalan-persoalan terkait perempuan. 

Namun, sepengetahuan saya, tugas dan fungsi polwan tidak hanya sebatas itu, dan semua polwan berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu, logika pemaknaan tersebut tidak relevan dengan istilah polwan atau polisi wanita.

Istilah selanjutnya adalah “penulis novel” dan “penulis muda”. Istilah “penulis novel” dipakai sebagai upaya pengkhususan berdasarkan genre karya yang ditulisnya. 

Ia membedakan diri dengan penulis jenis karya tulis lainnya, seperti penulis cerpen, penulis esai, penulis berita, dan sebagainya. 

Sementara itu, istilah “penulis muda” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut seorang penulis yang terbilang baru di dalam dunia kepenulisan. 

Kemudian Ia membedakan dirinya dengan penulis yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia kepenulisan, atau yang sering disebut dengan penulis kawakan.

Kedua istilah tersebut memiliki inti frasa yang sama, namun memiliki fungsi pewatas yang berbeda. Jika penulis novel merupakan seorang penulis yang menulis karya bergenre novel, kita tidak bisa lantas menyebut bahwa penulis muda ialah seorang penulis yang menulis tentang hal-hal terkait dengan kemudaan.

Contoh yang terakhir adalah istilah “wanita karier”. Istilah ini digunakan untuk menyebut perempuan yang memilih untuk bekerja atau berkarier. 

Dalam konteks penggunaannya, ia membedakan diri dengan wanita yang tidak berkarier/bekerja, atau yang barangkali bisa kita sejajarkan dengan “ibu rumah tangga biasa”. 

Sehingga, istilah wanita karier merupakan sebuah upaya diferensiasi yang berdasar pada jenis pekerjaan/kegiatan yang dilakukan, bukan berdasar pada jenis kelamin.

Kita kembali ke dua istilah utama yang dipersoalkan. Berdasarkan logika pemaknaan terhadap beberapa contoh istilah yang telah saya uraikan di atas.

Maka pemaknaan terhadap istilah “penulis perempuan” dan “perempuan penulis” yang dijelaskan oleh narasumber webinar sebelumnya masih sangat mungkin untuk dibongkar dan dipertanyakan kembali. Istilah “penulis perempuan” barangkali tidak hanya bermakna penulis yang menulis tentang perempuan.

Bila disandingkan dengan istilah “polwan”, istilah “penulis perempuan” bisa diberi makna penulis yang berjenis kelamin perempuan, sebagai diferensiasi terhadap penulis yang berjenis kelamin laki-laki. 

Sementara, ketika disandingkan dengan istilah “wanita karier”, istilah “perempuan penulis” bisa diberi makna seorang perempuan yang berprofesi sebagai penulis, sebuah upaya diferensiasi berdasarkan jenis profesi/pekerjaan.

Selain itu, di dalam teori pembentukan frasa, dijelaskan bahwa hubungan antara satu kata dengan kata lainnya dalam sebuah frasa adalah hubungan diterangkan (D) dan menerangkan (M). 

Bagian yang diterangkan (D) merupakan inti frasa, sedangkan bagian yang menerangkan (M) merupakan atribut. 

Pada “penulis perempuan”, “penulis” merupakan inti frasa (D), sedangkan “perempuan” merupakan atribut (M). Sementara pada “perempuan penulis”, “perempuan” yang menjadi inti frasa (D) dan “penulis” yang menjadi atributnya (M).

Kedua istilah tersebut sama-sama dapat digunakan sebagai sebutan bagi penulis yang berjenis kelamin perempuan, namun penggunaannya perlu disesuaikan berdasarkan fungsi pada konteksnya masing-masing. 

Dalam konteks gugatan terhadap nomine Penghargaan Sastra, misalnya, persoalan utamanya ialah kesenjangan gender yang mempertanyakan eksistensi penulis bergender perempuan di dalam panggung penghargaan sastra Indonesia. 

Persoalan yang muncul tersebut berada di dalam konteks dikotomi gender, bukan dalam konteks perbedaan jenis profesi/karier.

Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa permasalahan tersebut bergulir di seputar dikotomi antara perempuan dan laki-laki sebagai atribut frasa (M) yang melengkapi kata “penulis” sebagai inti frasa (D). 

Maka dari itu, berdasarkan uraian logika pemaknaan dan pembentukan frasa tersebut, istilah yang lebih tepat untuk digunakan dalam konteks gugatan nomine penghargaan sastra ini adalah “penulis perempuan”, dibandingkan menggunakan “perempuan penulis”.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun