Sejak diumumkannya nama-nama pengarang yang menjadi nomine penerima penghargaan sastra Kemendikbud tahun 2020 lalu, banyak perdebatan yang muncul terhadapnya. Terutama isu mengenai tersingkirnya perempuan penulis dari panggung penghargaan tersebut.
Hali itu utamanya disebabkan oleh tidak adanya satu pun nama perempuan penulis di dalam daftar pendek nomine penerima penghargaan itu.
Terlepas perlu atau tidaknya isu itu digaungkan kembali, penggunaan istilah “perempuan penulis” cukup mencuri perhatian saya.
Jujur saja, saya cukup asing dengan pemakaian istilah “perempuan penulis” dibanding istilah “penulis perempuan”.
Sudah sejak lama saya mendengar dan menggunakan istilah penulis perempuan untuk menyebut penulis yang berjenis kelamin perempuan.
Mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, melihat bahwa kedua kata tersebut sebetulnya hanya dibolak-balik dan sekilas tetap memiliki makna dan maksud yang sama. Tapi, apakah memang betul sama?
Saya pernah mendengar sebuah pendapat dari salah satu narasumber pada sebuah webinar kebahasaan yang menerangkan bahwa istilah yang tepat untuk digunakan dalam konteks tersebut adalah “perempuan penulis”.
Narasumber itu menerangkan, perbedaan di antara keduanya ialah bahwa “penulis perempuan” bisa dimaknai sebagai seorang penulis, baik laki-laki maupun perempuan, yang menulis tentang perempuan.
Sedangkan “perempuan penulis” dimaknai sebagai seorang perempuan yang berprofesi sebagai penulis. Jadi, untuk menyebut seorang perempuan yang berprofesi sebagai penulis, lebih tepat dan lebih baik menggunakan istilah “perempuan penulis”.
Bagi saya, penjelasan tersebut belum cukup memuaskan. Saya kemudian mencoba menganalisisnya sendiri dengan cara mencari perbandingan yang setara.
Saya menemukan beberapa istilah yang mungkin dapat digunakan sebagai perbandingan sekaligus penyandingan. Yang pertama ialah “polwan” atau polisi wanita, istilah yang bermakna satuan polisi khusus yang berjenis kelamin wanita/perempuan.