Majelis hakim Jakarta Pusat ternyata mengakui data elektronik sebagai alat bukti dalam perkara gugatan Microsoft Corp, Perusahaan software milik Bill Gates (Forum Keadilan, No. 17. 29 Juli 2001).
Sidang gugatan terhadap lima toko komputer milik HJ Computer, Altec Computer, HM Computer dan Panca Putra Computer berlangsung Juli 2001. Toko komputer tersebut dituduh membajak program Komputer Microsoft Office 2000 dan Microsoft Windows dengan cara menginstal program tersebut ke komputer konsumen.
Komputer yang telah diisi program hasil bajakan itu dijual seharga Rp 5 juta per unit. Padahal harga resmi sebuah komputer yang berisi program Microsoft asli sekitar Rp 12 juta. Microsoft mengakui mengalami kerugian sekitar US$ 9,3 juta atau sekitar Rp 103 milyar.
Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Microsoft cukup menarik jika dilihat dari sistem pembuktian di persidangan.
Menurut Hafzan, pihaknya mengajuakn database komputer sebagai alat bukti karena didalamnya terdapat data dokumen dan sertifikat yang akan memperlihatkan informasi tentang keaslian perangkat lunak didalamnya.
Database komputer akan menyajikan informasi tentang sipa sebenarnya pemilik software tersebut.
Terlepas dari gugatan Microsoft tersebut, pemakain data elektronik sebagai alat bukti menarik untuk dicermati.
Hal ini jelas merupakan hal baru yang menyangkut bidang hukum di Indonesia. Masalahnya secara hukum penggunaan data elektronik sebagai alat bukti tidak pernah diatur, baik didalam pasal 184 KUHAP maupun 164 HIR.
Berkaitan dengan teknologi mutakhir sebagai alat bukti, sejauh ini Mahkamah Agung melalui fatwanya baru mengakui mikrofilm atau microfiche sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
Penafsiran hakim atas kasus atau barang bukti serta alat bukti yang baru dikenal dan belum ada peraturan hukumnya itu bisa dilakukan dengan cara dianalogikan. Misalnya analogi hakim terhadap kasus pencurian listrik.
Atau dengan penafsiran ekstenstif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata dalam peraturan itu.