Tema "Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan" dituliskan ketika dilakukan pemeriksaan saksi melalui "Teleconference".
Pada saat itu, dunia hukum "di-heboh-kan" dengan diselenggarakan pemeriksaan saksi Presiden B. J. Habibie melalui teknologi konferensi jarak jauh (teleconference) dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Kantor Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Hamburg, Jerman.
Pemeriksaan dengan menggunakan teknologi yang menghubungkan ribuan kilometer ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum.
Lagi-lagi dunia hukum menimbulkan kegegeran dan memancing reaksi pro dan kontra tentang keabsahan pemeriksaan tersebut.
Didalam KUHAP sendiri terutama pasal 162 KUHAP "Jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan".
Maka berdasarkan ketentuan pasal 162 KUHAP ini apabila diperhatikan kepada panggilan terhadap Presiden Habibie tidak terpenuhi.
Presiden Habibie sendiri masih hidup bertempat tinggal di Jakarta dan alasan yang digunakan bahwa Presiden Habibie tidak bisa meninggal Jerman karena sakit istrinya.
Apabila kita perhatikan ketentuan pasal 162 KUHAP tersebut, maka terhadap Presiden Habibie tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat sebagaimana diatur didalam Pasal 162 KUHAP sehingga Berita Acara Pemeriksaan di tingkat Penyidik harus dibacakan. Artinya secara hukum Habibie harus datang ke Jakarta dan memberikan keterangan di muka persidangan.
Alasan inilah yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara ini. Namun Hakim ternyata berpendapat lain.
Dengan alasan kemanusiaan Presiden Habibie tidak dapat meninggalkan Jerman karena mendampingi istrinya yang sakit, dan tentunya tidak menghilangkan prinsip hukum pidana yang bertujuan mencari kebenaran materiil, artinya kebenaran yang sebenar-benarnya, maka langkah Majelis Hakim tersebut luar biasa dan melakukan terobosan yang baru didalam praktek hukum acara pidana di Indonesia.
Langkah ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam di tengah masyararakat. Harkrisnatuti dan Ahmad Ali menolak langkah tersebut dengan alasan tidak mempunyai dasar hukum.