Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sertifikasi

28 Februari 2020   11:56 Diperbarui: 28 Februari 2020   11:52 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sayapun menjadi tertawa ngakak ketika ada orang yang mengaku "pernah menjadi pastor" namun keliru mencampuradukkan istilah pendeta dan pastor. Belum lagi mencampuradukkan antara istilah PGI dan KWI.  

Sehingga tidak mungkin seorang yang baru hapal satu-dua ayat kemudian bisa berdiri di podium.

Ironi ini banyak menggejala sekarang ini. Tanpa "ba-bi-bu", dengan seenaknya menafsirkan ayat-ayat suci agama "sekendak perutnya". Apalagi kemudian dia menafsirkan dari kitab suci terjemahan. Bukan dari sumber langsung.

Atau seorang "yang mengaku" tokoh agama yang tidak tahu ilmu dasar. Dengan enteng menafsirkan kata "kafir' dengan cueknya.

Atau tanpa berdosa menyebutkan penyakit korona dikaitkan dengan agama ?

Lalu mengapa ketika tema sertifikasi diwacanakan kemudian keras menolaknya ? Bukankah dalam urusan agama diserahkan kepada ahlinya ?

Belajar agama bahkan menjadi ahli agama memerlukan waktu bertahun-tahun. Lihatlah tokoh-tokoh agama yang kemudian kitabnya menjadi rujukan. Selain memang mereka "haus ilmu", mereka "dijaga" kesuciannya. Selain mereka tuntas memahami kitab dengan baik, mereka terus menjaga ilmunya dengan tawaddu.

Suara mereka lirih hampir tidak terdengar. Setiap malam mereka bermunajab kepada sang Pencipta. Agar ilmunya berguna bagi orang lain.

Sudah saatnya kita memikirkan tentang sertifikasi terhadap ahli agama yang hendak naik mimbar. Dengan cara sertifikasi, kita dapat mengetahui "dimana dia nyantri", "dengan siapa dia nyantri", "berapa lama dia nyantri", cara ini juga dapat mengetahui dan memberikan informasi kepada publik. Sehingga agama tidak dijadikan "dagelan' yang menjadi tertawaan orang banyak.

Sertifikasi juga menyaring "ulama abal-abal" atau "ustad abal-abal" yang tanpa pernah kita ketahui jejaknya kemudian "lantang didepan podium".

Sehingga tanpa sertifikat, maka seseorang tidak dibenarkan untuk mengisi pengajian ataupun ceramah umum. Sehingga ceramahnya tidak menjadi tertawaan orang banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun