Sayapun menjadi tertawa ngakak ketika ada orang yang mengaku "pernah menjadi pastor" namun keliru mencampuradukkan istilah pendeta dan pastor. Belum lagi mencampuradukkan antara istilah PGI dan KWI. Â
Sehingga tidak mungkin seorang yang baru hapal satu-dua ayat kemudian bisa berdiri di podium.
Ironi ini banyak menggejala sekarang ini. Tanpa "ba-bi-bu", dengan seenaknya menafsirkan ayat-ayat suci agama "sekendak perutnya". Apalagi kemudian dia menafsirkan dari kitab suci terjemahan. Bukan dari sumber langsung.
Atau seorang "yang mengaku" tokoh agama yang tidak tahu ilmu dasar. Dengan enteng menafsirkan kata "kafir' dengan cueknya.
Atau tanpa berdosa menyebutkan penyakit korona dikaitkan dengan agama ?
Lalu mengapa ketika tema sertifikasi diwacanakan kemudian keras menolaknya ? Bukankah dalam urusan agama diserahkan kepada ahlinya ?
Belajar agama bahkan menjadi ahli agama memerlukan waktu bertahun-tahun. Lihatlah tokoh-tokoh agama yang kemudian kitabnya menjadi rujukan. Selain memang mereka "haus ilmu", mereka "dijaga" kesuciannya. Selain mereka tuntas memahami kitab dengan baik, mereka terus menjaga ilmunya dengan tawaddu.
Suara mereka lirih hampir tidak terdengar. Setiap malam mereka bermunajab kepada sang Pencipta. Agar ilmunya berguna bagi orang lain.
Sudah saatnya kita memikirkan tentang sertifikasi terhadap ahli agama yang hendak naik mimbar. Dengan cara sertifikasi, kita dapat mengetahui "dimana dia nyantri", "dengan siapa dia nyantri", "berapa lama dia nyantri", cara ini juga dapat mengetahui dan memberikan informasi kepada publik. Sehingga agama tidak dijadikan "dagelan' yang menjadi tertawaan orang banyak.
Sertifikasi juga menyaring "ulama abal-abal" atau "ustad abal-abal" yang tanpa pernah kita ketahui jejaknya kemudian "lantang didepan podium".
Sehingga tanpa sertifikat, maka seseorang tidak dibenarkan untuk mengisi pengajian ataupun ceramah umum. Sehingga ceramahnya tidak menjadi tertawaan orang banyak.