Begitu juga dengan anak. Perkaranya lebih cepat sepertiga dari waktu pada perkara umum, didampingi orangtua maupun psikolog dan petugas dari negara, sidang yang tertutup untuk umum. Bahkan seluruh penegak hukum tidak dibenarkan menggunakan toga. Hanya menggunakan pakaian yang sopan dipengadilan.
Sedangkan untuk Masyarakat Adat maka harus diakui termasuk hak-hak tradisionalnya.
Begitu juga yang dilakukan Jokowi. Konsentrasi untuk mengejar daerah-daerah tertinggal dalam infrastruktur kemudian dikebut selama 4 tahun terakhir ini. Jokowi tidak peduli apakah "suaranya" cuma sedikit untuk berkaitan dengan politik. Jokowi adalah tipikal "orang tua" yang baik untuk memperhatikan "masyarakat minoritas" yang abai dalam pembangunan.
Mau dimana nurani apabila masih mendengarkan suara-suara di timur yang tidak ada listrik, harga BBM yang tinggi, semen yang menjulang tinggi. Bukankah begitu memang tugas dari negara ? Membangun dari ujung barat dengan ujung Timur Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai ke Pulau Rote.
Mendengarkan dan melindungi minoritas adalah hakekat kemanusiaan. Ada yang menyebutkan "toleransi'. Namun saya lebih suka menyebutkan Fitrah sebagai manusia. Dan bersifat universal.
Bukan keseimbangan antara minoritas dengan mayoritas adalah seni kehidupan. Bukankah "akurnya" yang tua dengan yang muda dunia menjadi indah. Bukankah seloko Jambi menyebutkan "Elok negeri dek yang tuo. Ramai negeri dek yang mudo".
Akur khan.
Setelah pulang memakan lontong diluar, sang bungsu malah sibuk dengan mainannya. Bahkan memberikan remote TV sembari kemudian meninggalkan sang istriku.
Ah. Pertengkaran kecil minggu pagi kemudian mengajarkan. Konflik selalu ada. Namun konflik harus dikelola untuk dapat diselesaikan.
Besok-besok harus rapat besar nih. Sambil mengatur jam menonton untuk si bungsu. Dan jam menonton si bungsu harus mengalah.
Akupun meneruskan membaca buku sembari mendengarkan raungan gitar. Dari Pemusik BB King.