Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seloko Adat dalam Putusan MK

13 Februari 2014   22:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SELOKO ADAT DALAM PUTUSAN MK

Hari ini Mahkamah Konstitusi telah memutuskan UU No. 4 Tahun 2014 berasalkan Perpu No. 1 Tahun 2013. Putusan MK penting untuk dicermati sebagai pembelajaran dan pandangan konstitusi terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.

Perpu No. 1 Tahun 2013 memang dilahirkan setelah ditangkapnya Ketua MK Akil Mukhtar oleh KPK. Perpu No. 1 tahun 2013 merupakan “respon” dari Presiden SBY.

Memang ada “desakan” dari publik melihat gonjang ganjing persoalan di MK. Namun bukannya “segera” mengeluarkan Perpu, Presiden SBY dianggap “lambat” untuk meresponnya sehingga desakan kepada SBY telah “kehilangan momentum”.

Perpu yang dikeluarkan SBY disampaikan ke publik, disaat bersamaan MK kemudian “berbenah”. MK kemudian memberhentikan Akil Mukhtar dan kemudian menetapkan Wakil Ketua MK, Hamdan Zoelfan dan kemudian memilihnya menjadi Ketua MK.

Melihat pertimbangan yang disampaikan MK, banyak pelajaran yang penting dijadikan pembelajaran ke depan.

Pertama. MK tetap konsisten untuk tetap pada putusan MK mengenai “hakim konstitusi” tidak terikat dengan ketentuan yang diatur didalam pasal 24 B UUD 1945. Artinya, MK tetap mengikuti putusan MK nomor 5/PUU-IV/2006 yang secara tegas menyatakan “hakim mahkamah konstitusi tidak terkait dengan ketentuan pasal 24 B UUD 1945. Dengan demikian, maka Komisi Yudisial bukanlah pengawas dari mahkamah konstitusi. MK tetap bersikukuh unsur di MK tetap terdiri dari Presiden, DPR dan Mahkamah Agung sebagai cerminan tiga pilar kekuasaan.

Kedua. MK memandang KY sebagai bentuk “penyeludupan hukum” dari Perpu No. 1 Tahun 2013 sebagai bagian dari intervensi Pemerintah untuk memasuki MK. Padahal berdasarkan putusan MK nomor 5/PUU-IV/2006, jelas-jelas KY tidak dapat memeriksa, mengawasi MK.

Ketiga. Stigma yang mempersoalkan latar belakang hakim konstitusi dari Partai Politik adalah persepsi yang dibangun tidak mempunyai dasar hukum. Persepsi yang dibangun berdasarkan kasus Akil Muktar tidak dapat dijadikan sandaran dan dasar hukum Presiden untuk mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2013.

Persepsi ini harus diluruskan. Persepsi yang hendak dibangun tidak boleh menganulir putusan MK.

Keempat. Perintah untuk mencabut Perpu No. 1 Tahun 2013 yang kemudian dijadikan UU No. 4 Tahun 2014 dan kembali ke UU No. 8 Tahun 2011 merupakan peristiwa yang unik.

Selama ini, setiap putusan MK yang memerintahkan untuk mencabut pasal-pasal tertentu ataupun mencabut UU tertentu, tidak ada perintah untuk kembali ke UU sebelumya.

Peristiwa ini sekali lagi menegaskan “putusan MK” telah melebihi kewenangan MK didalam memeriksa dan mengadili perkaranya sesuai dengan UU MK.

Kelima. Putusan MK kemudian juga bersandarkan pepatah adat “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Pertimbangan ini menarik penulis untuk mencari benang merah melihat pandangan MK mengenai Perpu No. 1 tahun 2013.

Didalam seloko adat, istilah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” cukup serius.

Pandangan MK mengenai Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan memberikan perumpamaan dengan seloko adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”, memang terasa menyakitkan.

Dalam istilah lain, seloko ini biasa juga dikenal dengan istilah “Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.

Menggunakan istilah itu apabila hukuman adat telah dijatuhkan, namun yang bersangkutan tidak mau melaksanakan putusan hukum adat. Sebagian juga memberikan hukuman plali (di sebagian masyarakat Luak XVI di Bangko). Sedangkan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, mereka menyebutkan “orang buangan”.

Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo adalah gambaran orang yang tidak perlu diurus lagi dalam pergaulan sosial di suatu kaum. Mereka kemudian tidak perlu diurus termasuk ada acara selamatan di kampung, sakit tidak tengok, mati tidak dikuburkan.

Begitu beratnya hukum plali sehingga Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo, menggambarkan orang yang tidak mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai indung semang, tidak mempunyai ninik mamak.

Dengan pesan yang tegas, MK memberikan perumpamaan dengan seloko itu menggambarkan, Perpu No. 1 Tahun 2013 adalah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Apakah MK kemudian menganggap Perpu No. 1 Tahun 2013 merupakan “bentuk kurang ajar” dari pihak eksekutif sehingga Perpu No. 1 Tahun 2013 kemudian dipandang sebagai “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” ?

Memberikan perumpamaan Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” adalah bentuk dahsyat dari MK. MK kemudian dapat dilihat sebagai bentuk “kemarahan” yang luar biasa.

Namun dalam pertimbangan MK mengibaratkan Perpu No. 1 Tahun 2013 kurang tepat apabila disepadankan dengan “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Apakah MK mengetahui makna “tersurat” dari seloko ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang ?

Apakah MK telah menjatuhkan putusan sebelumnya, namun pihak Eksekutif masih juga menerbitkan peraturan yang telah dibatalkan ?

Namun apabila dilihat dari “perintah konstitusi” kepada Pemerintah agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan, namun pemerintah belum juga bisa melaksanakan, sehingga APBN yang berkaitan dengan pendidikan “sering digugat” di MK, barulah APBN yang berkaitan dengan pendidikan dapat disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.

Atau pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP, barulah pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.

Namun dengan makna yang lebih ketat, seharusnya MK harusnya memberikan pandangan terhadap agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan atau pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP dengan pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.

Dengan melihat makna “harfiah” dari kata-kata pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang, walaupun tidak tepat, penulis bisa memahami “kemarahan” MK terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun