Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Makna Pemberian Rokok dari Mensos

21 Maret 2015   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 13 Maret pukul 06.00 wib saya meninggalkan Jakarta dengan menggunakan maskapai Garuda Airways (Garuda). Setelah memasuki pesawat (boarding), di belakang saya diikuti seorang pejabat dan dua orang. Setelah saya duduk, saya cermati siapakah gerangan pejabat dan diikuti dua orang tersebut. Saya kemudian tersadar. Dia adalah Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

Gaya sederhana seorang Menteri yang rela antri menuju tempat duduk. Mengambil bangku ekonomi dua baris didepan saya. Saya memilh bangku “emergency”. Bangku favorit saya selain karena alasan tungkai kaki yang panjang, bangku emergency merupakan tempat yang cukup lapang untuk keluar masuk duduk di bangku.

Saya teringat dengan photo-photo yang beredar Jokowi yang mengambil bangku ekonomi ketika menghadiri (urusan pribadi) wisuda putranya di Singapura. Ternyata semangat kesederhanaan, meninggalkan protokoler, rela antri memasuki pesawat merupakan sikap keteladanan kepemimpinan.

Hmm. Pasti ada agenda penting kedatangan seorang Menteri ke Jambi.

Saya kemudian tidak mengikuti dan mengetahui agenda Menteri Khofifah. Selain ada acara yang mesti dikejar, pertemuan yang saya hadiri juga memaksa saya tidak mengikuti berita-berita online dan media cetak selama satu hari penuh.

Saya kemudian baru mengetahui ketika keesokan harinya berita memuat tentang kedatangan Menteri Sosial menemui warga Rimba di Bukit Duabelas Kabupaten Sarolangun-Batanghari, Jambi. Bantuan ini diberikan menyusul kasus meninggalnya 11 orang Rimba.

Tidak ada yang istimewa dari peristiwa. Selain bentuk dukungan dari Pemerintah terhadap persoalan yang menimpa rakyatnya.

Namun saya kemudian kaget ketika sebuah mediaonline yang memuat berita yang cukup menarik perhatian saya. “Mensos Bagikan Rokok Gratis ke Orang Rimba, YLKI: Tragis Sekali”. Didalam berita disebutkan “Mensos Khofifah Indar Parawansa memberi bantuan seperti baju kaos sebanyak 180 potong, rokok segala jenis merek sebanyak 15 slof, dan kebutuhan pokok lain kepada orang Rimba di Provinsi Jambi.

Dengan panjang lebar, YLKI mengomentari dan menyesalkan sikap Mensos yang memberikan bantuan rokok kepada orang rimba. Tentu saja lengkap analisis berbagai peraturan yang mengatur tentang larangan untuk memberikan rokok gratis.

Saya kemudian kaget. Mengapa YLKI tidak memahami peristiwa sebenarnya dan “makna” pemberian rokok dilihat dari konteks peristiwa itu terjadi. Tanpa bermaksud menyalahkan sikap YLKI ada beberapa point untuk melihat peristiwa ini lebih utuh. Sehingga pernyataan harus dipahami dari konteks peristiwa dengan melihat keadaan yang melatarbelakangi.

Pertentangan Norma

Menggunakan norma hukum dengna bersandarkan kepada peraturan seperti PP 109 Tahun 2012 adalah salah kaprah. Bahkan terkesan “menghakimi” pemberian rokok atau perokok adalah “kejahatan” yang harus dimusuhi.

Dalam konteks masyarakat adat, Seloko “Sirih nan sekapur, rokok nan sebatang” melambangkan Salam dan tanda persahabatan.

Sirih” yang dicicipi dan “rokok” yang dihisap merupakan persahabatan dan persaudaran mulai ditautkan.

Dalam tradisi Melayu Jambi, setiap pengundang yang menghampiri tuan rumah selalu membawa Bokor yang berisikan “sirih, pinang, rokok” untuk diberikan kepada tuan rumah. Tuan Rumah akan menentukan apakah “sirih akan cicipi” dan rokok akan dihisapi atau tidak. Tidak mencicipi sirih dan menghisap rokok, maka tawaran dari yang datang maka undangan tidak dapat dihadiri.

Dalam setiap peristiwa adat seperti perkawinan, mengantar sang mempelai laki-laki oleh keluarga laki-laki kepada Keluarga perempuan selalu dimulai dengna menyodorkan “sirih dan rokok”. Setelah diterima sirih dan rokok maka dimulai percakapan.

Pihak Laki-laki : Lah, kami antarkan “sirih dan rokok” kepada tuan rumah.

Pihak Perempuan : Pihak jantan ke betino butandang, lah dicicipi sirih nan sekapur. lah tehisap rokok nan sebatang, lah tehirup kupi nan secawan. Boleh tahu maksud kedatangan kawan?

Pihak Laki-laki : Raso-rasonyo ado anak gadis sikok dalam kamar, boleh suruh keluar biak anak daripado sayo biso lamar.

Pihak Perempuan : Dak semudah itu kawan biso petik anak gadis kami, takut kalu-kalu dio kagi betilam di jerami.

Pihak Laki-laki : Kami ko tahu anak gadis kawan intan nan berlian, dak akan pulak kami taruh di pundaknyo sebongkah bulian.

Pihak Perempuan : Kalu memang lah tesebut janji, anak kami nan gadis lah siap di mahligai, elok rupo bebalut cindai. Dan seterusnya.

Dengan melihat “sirih dan rokok” dalam penempatannya, maka sirih nan sekapur dan rokok nan sebatang merupakan adat yang diistiadatkan. Adat nan sepanjang jalan. Cupak yang sepanjang batang. Adat lamo pusako usang, yang terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jati.

Adat yang diatur “luak nan bepenghulu, kampung nan tuo, alam berajo, negeri bebathin, Rantau bejenang. Dimana bumi dipijak. Disitu Langit dijunjung. Dimana tembilang tecacak. Disitu tanaman tumbuh.

Dengan melihat “sirih dan rokok” dalam seloko masyarakat Melayu Jambi, sehingga pemberian rokok atau perokok tidaklah bisa dilihat dari konteks PP 109 Tahun 2012. Peristiwa pemberian rokok dari Mensos Khofifah merupakan manifestasi tawaran persahabatan dari tamu (Mensos Khofifah) yang ingin menjalin persahabatan dengan tuan rumah (warga Rimba di Bukit Duabelas Kabupaten Sarolangun-Batanghari, Jambi)

Sudah saatnya kita “sejenak” mau memahami peristiwa sebenarnya tanpa berpretensi “meracuni” peristiwa itu. Meninggalkan keegoan dari rasa sebagai orang terpelajar tanpa memahami “dunia” yang justru menghormati nilai-nilai yang mereka anut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun