Menggunakan norma hukum dengna bersandarkan kepada peraturan seperti PP 109 Tahun 2012 adalah salah kaprah. Bahkan terkesan “menghakimi” pemberian rokok atau perokok adalah “kejahatan” yang harus dimusuhi.
Dalam konteks masyarakat adat, Seloko “Sirih nan sekapur, rokok nan sebatang” melambangkan Salam dan tanda persahabatan.
“Sirih” yang dicicipi dan “rokok” yang dihisap merupakan persahabatan dan persaudaran mulai ditautkan.
Dalam tradisi Melayu Jambi, setiap pengundang yang menghampiri tuan rumah selalu membawa Bokor yang berisikan “sirih, pinang, rokok” untuk diberikan kepada tuan rumah. Tuan Rumah akan menentukan apakah “sirih akan cicipi” dan rokok akan dihisapi atau tidak. Tidak mencicipi sirih dan menghisap rokok, maka tawaran dari yang datang maka undangan tidak dapat dihadiri.
Dalam setiap peristiwa adat seperti perkawinan, mengantar sang mempelai laki-laki oleh keluarga laki-laki kepada Keluarga perempuan selalu dimulai dengna menyodorkan “sirih dan rokok”. Setelah diterima sirih dan rokok maka dimulai percakapan.
Pihak Laki-laki : Lah, kami antarkan “sirih dan rokok” kepada tuan rumah.
Pihak Perempuan : Pihak jantan ke betino butandang, lah dicicipi sirih nan sekapur. lah tehisap rokok nan sebatang, lah tehirup kupi nan secawan. Boleh tahu maksud kedatangan kawan?
Pihak Laki-laki : Raso-rasonyo ado anak gadis sikok dalam kamar, boleh suruh keluar biak anak daripado sayo biso lamar.
Pihak Perempuan : Dak semudah itu kawan biso petik anak gadis kami, takut kalu-kalu dio kagi betilam di jerami.
Pihak Laki-laki : Kami ko tahu anak gadis kawan intan nan berlian, dak akan pulak kami taruh di pundaknyo sebongkah bulian.
Pihak Perempuan : Kalu memang lah tesebut janji, anak kami nan gadis lah siap di mahligai, elok rupo bebalut cindai. Dan seterusnya.