Silang sengkarut mulai muncul. Bagaimana apabila terhadap putusan yang tidak mencantumkan agar “ supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, tidak dibuat baik mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga ke Mahkamah Agung ?.
Secara sederhana, mungkin kita dengan mudah beranggapan, ya, tidak bisa dilaksanakan eksekusi karena pada pengadilan sebelumnya sama sekali tidak mencantumkan mengenai hal itu.
Tapi tentu saja tidak sesederhana demikian.
Putusan MK menyebutkan menolak permohonan Pasal 197 (1) k lalu mengadili sendiri dengan menyatakan pasal 197 (2) huruf k, inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Dalam perkara yang telah diputuskan oleh MK, harusnya dibaca lebih utuh. Pertama. Terhadap permohonan dari Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin Riduansyah ternyata ditolak. Sehingga dalil yang sering disampaikan di berbagai media massa tidak tepat.
Kedua. MK sendiri telah merumuskan, Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bertentangan dengan UUD, tidak mempunya kekuatan hukum mengikat.
Ketiga, yang harus dipahami mengenai pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang berbunyi “Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, berkaitan dengan putusan yang masih belum inkracht. Putusan ini harus dilihat dari putusan yang lebih tinggi. Asas ini biasa dikenal dengan “asas res judicata pro veritate habetur”.
Dengan demikian maka pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP lebih dimaknai kata-kata “supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” masih dalam proses yang belum selesai.
Keempat. Putusan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung sudah bersifat final. Sehingga bisa dieksekusi. Putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung yang sudah inkracht harus dibaca sebagai putusan judek jurist yang menterjemahkan para terdakwa harus menjalani pemidanaan. Bukan tahanan.
Kelima. Pasal 197 (1) k, dibaca satu nafas dengan pasal 1 angka 21 KUHAP, pasal 21 juncto pasal 22, juncto pasal 26, juncto pasal 27, juncto pasal 28, dan pasal 193 dan pasal 242.
Pasal tersebut menerangkan arti dari penahanan dimana dalam pasal itu disebutkan kalau penahanan itu satu proses dari persidangan guna kepentingan pemeriksaan persidangan, aritnya ketika satu keputusan sudah incracht tidak perlu lagi ada penahanan.