Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti
Sedangkan Putusan Bebas Tidak Murni (de “onzuivere vrijspraak”) adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.
Putusan bebas tidak murni pernah juga dibahas Pasal 244 KUHAP dalam perkara nomor 17/PUU-VIII/2010 di Mahkamah Konstitusi
Sehingga walaupun rumusan ini “hendak” diatur didalam RUU KUHAP, namun perkembangan hukum yang begitu cepat yang ditandai dengan berbagai yurisprudensi akan kehilangan relevansinya.
Dengan melihat penjelasan yang disampaikan, penulis menganggap bahwa rumusan RUU KUHAP disusun tidak melihat kenyataan di tengah lapangan. Perangkat hukum yang belum berjalan, jumlah penegak hukum, sistem hukum yang masih jauh dari harapan hingga pembahasan KUHAP yang sudah banyak dipertimbangkan didalam putusan MK maupun dalam yurisprudensi Mahkamah Agung.
Sehingga tidak salah kemudian apabila adanya “tudingan” RUU KUHAP hendak melemahkan KPK dapat dimengerti. Upaya ini terus menerus setelah berbagai serangan kepada KPK tidak mendapatkan dukungan dari publik.
Sekedar mengembalikan ingatan, rumusan ini pernah dijadikan bahan untuk revisi UU KPK. Tapi dukungan dari publik terhadap KPK membuat pembahasan ini kemudian terhenti.
Namun ketika gagal rumusan ini dijadikan bahan revisi UU KPK, materi yang tidak berbeda kemudian dicoba disandingkan di RUU KUHAP.
Padahal para ahli hukum justru memberikan apresiasi kepada KUHAP sebagai salah satu karya terbesar (master piece) anak bangsa keluar dari kungkungan sistem hukum warisan kolonial.