Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Membaca Putusan Wa Ode Nurhayati

19 Oktober 2012   11:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Norma

Namun, UU No. 30 tahun 2002 sama sekali tidak memberikan wewenang, peluang apalagi membicarakan tindak pidana pencucian uang (money laundring). Sama sekali, Tidak ada rumusan yang memberikan "ruang", wewenang dari rumusan UU no. 30 Tahun 2002 dalam tindak pidana pencucian uang (money laundring)

Artinya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menegaskan KPK memang dibentuk untuk menangani Tindak Pidana Korupsi mulai dari Penyelidikan, Penyidikan, maupun Penuntutan. Dan artinya (a contrario), KPK tidak diberikan wewenang dalam menangani Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dari rumusan UU No. 30 Tahun 2002 dan UU Money laudry yang tidak "memberikan ruang dan wewenang" terhadap tindak pidana pencucian uang (money laundring), penggunaan pasal-pasal pencucian uang menarik untuk dilihat dari upaya semangat pemberantasan korupsi.

Coba perhatikan UU No 15 Tahun 2002 pada point Menimbang: (c). bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;

Dengan memperhatikan pada UU No. 15 Tahun 2002 junto UU No. 25 Tahun 2003 dan UU No. 8 Tahun 2010, tidak ada satupun Undang-undang yang membicarakan yang berkaitan dengan Korupsi maupun Tindak Pidana asal lainnya yang disebut sebagai dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Begitu juga terhadap dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak ditemukan ketentuan Undang-undang mengenai Korupsi maupun Tindak Pidana Asal lainnya dalam pembentukan Undang-undang tersebut. Yang menjadi bahan pertimbangan didalam dan membahas pembentukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 HANYALAH Pencucian Uang. (karena dalam berbagai literatur juga disebutkan terhadap tindak pidana pencucian juga dapat berasal dari tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika dan berbagai tindak pidana lainnya. Sebagian kalangan lebih tepat mendefenisikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar).

Dengan demikian maka tidak tepat apabila tindak pidana money laundring semata-mata bersandarkan kepada tindak pidana korupsi.

Namun rumusan ini kemudian menjadi aneh ketika kita baca pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 "Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini. Dan Pasal 75 UU No. 8 Tahun 2010 "Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.

Padahal apabila kita mau "sejenak" menggali berbagai ketentuan yang berkaitan dengan korupsi, rumusan tindak pidana juga tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Pengadilan ad hock korupsi. Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 menegaskan "Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi".

Walaupun ada rumusan pasal 6 "Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara (a) Tindak Pidana Korupsi, (b) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau (c) tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi, namun identitas Pengadilan adhock Tipikor yang menegaskan berdasarkan pasal 5 UU no. 46 Tahun 2009 yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sekali lagi menegaskan "tidak membuka ruang, wewenang" untuk memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundring). Atau ditegaskan "penyidik dan Pengadilan adhock Tipikor tidak diberikan wewenang oleh UU untuk memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan tindak pidana money laundring".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun