Jangan coba-coba membikin gaduh disini.
Sama seperti di dunia nyata. Di dunia maya juga ada aturan yang “tidak tertulis'. Tulisan yang bersifat provokasi, menghasut, menjelek-jelekkan akan mendapat tanggapan dari penulis yang lain.
Dengan banyaknya penulis yang menjadi anggota Kompasiana, sehingga “konon kabarnya” tulisan di Kompasiana mencapai 2 juta tulisan setahun. .
Tulisan yang masuk “praktis” tidak disensor oleh admin. Admin cuma menegur judul yang tidak boleh huruf kapital semuanya.
Tulisan dibagi berdasarkan kategori seperti Politik, Humaniora, Ekonomi, Hiburan, Olahraga dan seterusnya. Penulis sendiri yang menentukan kategori tulisan.
Tulisan kemudian diberi penghargaan oleh admin berdasarkan headline, highlight, terbaru dan trending articles. Selain itu tulisan “dinilai” oleh pembaca kompasiana sendiri seperti teraktual, inspiratif, menarik dan bermanfaat.
Setiap tulisan yang kemudian dibaca, admin kemudian membuat record tulisan yang sudah dibaca. Lengkap dengan kolom tanggapan terhadap tulisan.
Penulis sendiri sudah pernah merasakan “suasana” tersebut. Menjadi headline, highlight, trending articles. Pertemanan kemudian bertambah.
Maka ketika Anggito Abimanyu menulis tulisan Opini di Kompas, pilihan penulis memaparkan plagiat di Kompasiana tentu saja berdasarkan “daya ledak' Kompasiana itu sendiri.
Ketiga. Tulisan yang disampaikan “suara hati” mendapatkan dukungan dari para kompasianer. Entah berapa banyak tulisan perjalanan yang kemudian menjadi “guide” penulis lain untuk mengunjungi kota-kota yang telah ditulis.
Dengan melihat kasus Anggito Abimanyu yang kemudian ditelanjangi di Kompasiana, membuktikan, dunia maya sudah “mempengaruhi” dunia konvensional. Dunia nyata. Dunia maya sudah menjadi bagian dari proses gerakan sosial yang tidak pernah disadari.