Dunia maya dihebohkan dengan seorang siswa SD bernama Habibi, mendapatkan tugas menyelesaikan PR (Pekerjaan Rumah) dalam soal matematika. Soal itu selengkapnya adalah 4+4+4+4+4+4.
Habibi kemudian meminta sang kakak, seorang mahasiswa jurusan teknik mesin. Sang kakak kemudian menerangkan, maka 4 itu kemudian dikalikan 6 sehingga dituliskan 4 x 6 = 24.
Ternyata, jawaban tidak dibenarkan oleh bu guru. Jawaban yang semestinya dan seharusnya ditulis 6 X 4, bukannya 4 X 6.
Problem mulai timbul. Apakah 4 x 6 atau 6 x 4 yang benar ? Apakah logika yang hendak dibangun oleh sang kakak “4 nya 6 kali sehingga 4 x 6” atau urutan sebagaimana dijelaskan sang guru. 6 nya 4 kali sehingga harus ditulis “6 x 4” ?
Sekarang mari kita lihat logika yang hendak dibangun oleh sang kakak dan Sang Guru.
Apabila logika yang hendak dibangun sang kakak, maka sang kakak mengajarkan dan mengajak sang adik dengan logika sederhana. Karena angka-nya 4 kali maka bisa dituliskan dengan 4 x 6. Sebuah ajakan sederhana dengna mengenyampingkan rumitnya berfikir matematika.
Sedangkan Sang guru hendak mengajarkan sebelum menghasilkan sesuatu, maka proses sebelum mencapai sesuatu itu esensi yang penting. Dengan demikian, maka 6 kali-lah angka 4. sehingga dituliskan 6 x 4.
Dua logika inilah yang kemudian berdampak kepada sang Adik. Sang adik kemudian “mempertanyakan”. Apakah logika sang kakak yang sederhana ataupun proses untuk menghasilkan sesuatu yang diajarkan sang guru.
Saya mungkin tidak ahli matematika. Namun ketika di SMA, saya masuk jurusan Fisika (sebuah jurusan yang cukup dikenal angker. Dalam satu minggu, pelajaran matematika-nya cukup banyak. Ada sekitar 10 jam. Dengan penghitungan 10 jam, maka praktis setiap hari harus belajar matematika).
Memadukan “bekal” matematika ketika SMA dan kemudian menempuh pelajaran ilmu sosial di perguruan tinggi memberikan sudut pandang yang cukup untuk melihat persoalan diatas.
Sekarang mari kita kembali dan lihat lihat kepada logika yang hendak dibangun. Sang kakak mengajarkan “logika” kepada sang adik dengna menggunakan nalar dan mudah dipahami. Sang kakak mengajak sang adik agar memikirkan segala sesuatu berdasarkan kepada pemahaman yang sederhana. Sang kakak “tidak mau” sang adik terjebak dengan urutan penghitungan didalam textbook. Sang kakak mengajak sang adik keluar dari “kepengapan” matematika yang menjemukan.
Dengan mengajak adik untuk keluar dari “kepengapan”, sang adik menggunakan menggunakan nalar dan terus menerus belajar matematika. Sehingga matematika tidak menjemukan dan praktis mudah diterima sebagai permainan sehari-hari.
Sedangkan sang guru mengajarkan untuk menghasilkan sesuatu harus dilalui dengan proses yang benar. Sang guru tidak mau “terjebak” hasil tanpa melalui proses yang benar. Dalam logika yang diajarkan sang guru, proses lebih baik daripada hasil. Murid diharapkan mengikuti “pakem” dan urutan yang benar. Mengenai hasil hanyalah sekedar “bonus” dari proses yang benar. Murid juga diharapkan agar kedepan, proses yang dilalui merupakan salah satu bentuk “pengajaran” matematika yang baik. Memang “terkesan” textbook, namun proses adalah cara berfikir yang baik. Sehingga didalam menekuni pelajaran apapun, proses merupakan “kaidah” ilmiah yang bisa dipertanggungjawaban.
Harus diakui, pelajaran matematika merupakan pelajaran momok yang menakutkan. Pelajaran matematika juga Bahasa Inggeris sering dijadikan siswa untuk “membolos” pelajaran. Pelajaran yang “memerlukan” ketelitian, daya ingat, konsentrasi tinggi dan sering “dikucilkan” oleh siswa. Sehingga tidak salah kemudian, peminat pelajaran matematika sering diminati sebagian kecil siswa.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari, setiap disiplin ilmu apapun – termasuk ilmu sosial, tidak boleh mengabaikan matematika. Dalam ilmu hukum, selain matematika diajarkan dalam mata kuliah statistik, dalam ilmu hukum pidana, penghukuman badan juga menggunakan matematika. Bisa dibayangkan apabila petugas LP salah menghitung 'masa pidana” (telat saja sehari), maka mempunyai konsekwensi hukum. Sang LP dapat dijerat dengan tuduhan cukup serius seperti “merampas kemerdekaan orang lain”.
Begitu juga “suasana pemberian remisi kepada pelaku korupsi”. Semuanya menggunakan matematika sebagai batu pijakan. Kalangan anti korupsi “menyesalkan” pemberian remisi karena “tidak sesuai dengan masa hukuman” yang harus dijalani oleh sang terpidana. Hukuman pengadilan ternyata “cuma” berbicara diatas kertas” namun hanya dijalani sang terpidana harus dikurangi dengan “masa remisi”. Sang terpidana hanya menjalani setengah waktu ataupun hanya sepertiga waktu putusan pengadilan.
Menarik minat anak-anak terlibat dalam belajar matematika merupakan salah satu tantangan yang harus disadari. Anak murid “masih usia dini” memang ditekankan masih menggunakan “pikiran” sederhana yang mengajak dan menggunakan otak yang masih sederhana. Anak yang masih “doyan” main dan cenderung senang melihat segala sesuatu dengan sederhana tidak perlu “dibebani' proses yang rumit apalagi harus “textbook”.
Matematika merupakan salah satu “solusi” sang adik memandang dunia. Matematika merupakan bentuk pandangan dia melihat dunia dan problemanya. Sang kakak “belum mau” mengajak adiknya untuk berproses yang rumit. Sang kakak sadar, di usia sang adik, mengajak anak untuk belajar atau menyelesaikan pekerjaan rumahnya saja, sudah baik. Apalagi bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik. Dari sisi ini, sang kakak kemudian mengajarkan dengan penghitungan 4 x 6.
Sang kakak kemudian membangun logika. Hayo berfikir. Hayo gunakan pikiranmu. Itu semangat sang kakak. Sang kakak berhasil sehingga sang adik mampu menyelesaikan.
Namun, asa sang adik kemudian sirna. Ajakan berfikir dari sang kakak “berbenturan” dengan logika sang guru.
Sang guru “mengajak berproses”. Sang guru mengajak mengikuti “tahap-tahap”, langkah ataupun proses “lebih diutamakan” dari “berfikir'
Benturan antara logika” berfikir” dan logika “proses” menemukan persoalan. Sang adik bimbang. Apakah belajar matematika “diutamakan” mengikuti proses” atau “berfikir' ?
Dari sinilah, kita bertanggungjawab “mempersiapkan generasi selanjutnya. Apakah kita “mengutamakan” mengikuti proses atau “mengutamakan alur “berfikir” ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H