Dengan mengajak adik untuk keluar dari “kepengapan”, sang adik menggunakan menggunakan nalar dan terus menerus belajar matematika. Sehingga matematika tidak menjemukan dan praktis mudah diterima sebagai permainan sehari-hari.
Sedangkan sang guru mengajarkan untuk menghasilkan sesuatu harus dilalui dengan proses yang benar. Sang guru tidak mau “terjebak” hasil tanpa melalui proses yang benar. Dalam logika yang diajarkan sang guru, proses lebih baik daripada hasil. Murid diharapkan mengikuti “pakem” dan urutan yang benar. Mengenai hasil hanyalah sekedar “bonus” dari proses yang benar. Murid juga diharapkan agar kedepan, proses yang dilalui merupakan salah satu bentuk “pengajaran” matematika yang baik. Memang “terkesan” textbook, namun proses adalah cara berfikir yang baik. Sehingga didalam menekuni pelajaran apapun, proses merupakan “kaidah” ilmiah yang bisa dipertanggungjawaban.
Harus diakui, pelajaran matematika merupakan pelajaran momok yang menakutkan. Pelajaran matematika juga Bahasa Inggeris sering dijadikan siswa untuk “membolos” pelajaran. Pelajaran yang “memerlukan” ketelitian, daya ingat, konsentrasi tinggi dan sering “dikucilkan” oleh siswa. Sehingga tidak salah kemudian, peminat pelajaran matematika sering diminati sebagian kecil siswa.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari, setiap disiplin ilmu apapun – termasuk ilmu sosial, tidak boleh mengabaikan matematika. Dalam ilmu hukum, selain matematika diajarkan dalam mata kuliah statistik, dalam ilmu hukum pidana, penghukuman badan juga menggunakan matematika. Bisa dibayangkan apabila petugas LP salah menghitung 'masa pidana” (telat saja sehari), maka mempunyai konsekwensi hukum. Sang LP dapat dijerat dengan tuduhan cukup serius seperti “merampas kemerdekaan orang lain”.
Begitu juga “suasana pemberian remisi kepada pelaku korupsi”. Semuanya menggunakan matematika sebagai batu pijakan. Kalangan anti korupsi “menyesalkan” pemberian remisi karena “tidak sesuai dengan masa hukuman” yang harus dijalani oleh sang terpidana. Hukuman pengadilan ternyata “cuma” berbicara diatas kertas” namun hanya dijalani sang terpidana harus dikurangi dengan “masa remisi”. Sang terpidana hanya menjalani setengah waktu ataupun hanya sepertiga waktu putusan pengadilan.
Menarik minat anak-anak terlibat dalam belajar matematika merupakan salah satu tantangan yang harus disadari. Anak murid “masih usia dini” memang ditekankan masih menggunakan “pikiran” sederhana yang mengajak dan menggunakan otak yang masih sederhana. Anak yang masih “doyan” main dan cenderung senang melihat segala sesuatu dengan sederhana tidak perlu “dibebani' proses yang rumit apalagi harus “textbook”.
Matematika merupakan salah satu “solusi” sang adik memandang dunia. Matematika merupakan bentuk pandangan dia melihat dunia dan problemanya. Sang kakak “belum mau” mengajak adiknya untuk berproses yang rumit. Sang kakak sadar, di usia sang adik, mengajak anak untuk belajar atau menyelesaikan pekerjaan rumahnya saja, sudah baik. Apalagi bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik. Dari sisi ini, sang kakak kemudian mengajarkan dengan penghitungan 4 x 6.
Sang kakak kemudian membangun logika. Hayo berfikir. Hayo gunakan pikiranmu. Itu semangat sang kakak. Sang kakak berhasil sehingga sang adik mampu menyelesaikan.
Namun, asa sang adik kemudian sirna. Ajakan berfikir dari sang kakak “berbenturan” dengan logika sang guru.
Sang guru “mengajak berproses”. Sang guru mengajak mengikuti “tahap-tahap”, langkah ataupun proses “lebih diutamakan” dari “berfikir'
Benturan antara logika” berfikir” dan logika “proses” menemukan persoalan. Sang adik bimbang. Apakah belajar matematika “diutamakan” mengikuti proses” atau “berfikir' ?