Korupsi telah melanda di seluruh lini dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Media selalu memberitakan dengan hingar bingar berbagai kasus korupsi yang diungkap KPK. Begitu pula konflik yang bernuansa “SARA” (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) mudah terjadi dikalangan bangsa Indonesia. Sebagai contoh, konflik yang berlatar belakang “SARA” baru beberapa hari terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang menghancurkan puluhan tempat beribadah, yang pada umumnya tempat beribadah dari kalangan etnik Tionghoa (Cina).
Kita amat prihatin dan mengecam keras kedua karakter tersebut yang melanda bangsa kita, khususnya pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Pertanyaannya, mengapa karakter koruptif dan konflik melanda bangsa kita? Sebelum mengulas penyebabnya, saya ingin mengungkapkan kembali makna dari “karakter”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter bermakna tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak. Berkarakter baik berarti mempunyai tabiat baik, kepribadian yang baik dan watak yang baik.
Dari pengertian “karakter” diatas dapat dikemukakan bahwa “karakter koruptif dan konflik” ialah tabiat dan sifat-sifat kejiwaan yang suka melakukan korupsi dan konflik.
Penyebab Utama
Menurut saya, karakter koruptif dan konflik, harus ditelusuri dari paling hulu, mengapa prilaku tidak terpuji dan merusak, suka dilakukan bangsa Indonesia.
Saya sering kemukakan bahwa korupsi didorong oleh kebutuhan (corruption by need), karena serakah (corruption by greed) dan korupsi karena kepentingan politik (corruption by political interest).
Akan tetapi setelah saya merenung dan membaca kembali berbagai pandang Bung Karno tentang bangsa Indonesia, yang sering berseru pentingnya “Nation and Character Building”, akhirnya saya sadar bahwa sejak kita merdeka hampir 71 tahun lamanya, ada persoalan besar yang kita lupakan yaitu pembangunan karakter bangsa seperti yang dikemukakan Bung Karno.
Sejak Orde Baru sampai di era Orde Reformasi, kita sibuk dengan pembangunan fisik dan mengabaikan pembangunan karakter. Pembangunan fisik melahirkan kemajuan fisik yang ditandai dengan berdirinya gedung-gedung pencakar langit di DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Disamping itu, tumbuh orang-orang kaya dan orang-orang pintar, tetapi pertumbuhan dan kemajuan bangsa Indonesia tidak disertai dengan terbangunnya karakter bangsa Indonesia.
Akibatnya, tumbuh manusia Indonesia yang kaya dan pintar, tetapi tidak berkarakter baik. Sementara rakyat jelata (wong cilik) ikut-ikutan korupsi dengan menjadikan pemilu legislative, pemilihan kepala daerah dan pemilihan Presiden sebagai sarana untuk mendapatkan sogokan dari mereka yang berkompetisi untuk merebut kekuasaan. Pada hal menyogok dan menerima sogok tidak lain dan tidak bukan adalah praktik koruptif yang dilarang untuk dilakukan.
Maka karakter koruptif akhirnya menjadi bagian dari prilaku bangsa Indonesia. Selain itu, tidak adanya pendidikan karakter, melahirkan pula manusia Indonesia yang suka konflik, yang sejatinya tidak perlu terjadi jika bangsa Indonesia memiliki karakter yang baik, mulia dan agung.
Pertanyaan terakhir, kita mulai dari mana membangun Indonesia? Menurut saya, sesuai sila pertama dari Pancasila dan sila-sila lainnya, sudah saatnya kita kembali membangun karakter. Para Nabi merupakan contoh dan teladan yang diutus Tuhan untuk ikuti umat manusia. Misi para Nabi adalah untuk membangun akhlak (karakter) mulia sesuai sabda Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya saya diutus untuk membangun akhlak mulia (inna maa buistu li utammima makaarimal akhlaaq).
Bangsa Indonesia yang besar dan majemuk ini, suka tidak dan mau tidak mau harus dibangun akhlaknya (karakternya) supaya memiliki karakter, motivasi, semangat tinggi, daya juang, bersatu, saling bahu-membahu dan kerjasama untuk membangun kebesaran dan kejayaan Indonesia.
Allahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H