Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Parni Hadi, Pejuang Wong Cilik, Apa Saya Masih Jadi Pejuang?

14 Juni 2016   09:09 Diperbarui: 15 Juni 2016   04:44 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya bersyukur pada puasa hari ketujuh, 13 Juni 2016, saya bertemu dan berbincang dengan Pak Parni Hadi di kantornya  Dompet Dhuafa, Philanthropy Building, Jalan Raya Ujung Jakarta Selatan.

Pak Parni adalah teman lama, yang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, tetapi sejak lama mempunyai kesamaan ide bahwa hidup ini harus diisi dengan perjuangan. Dia mengenal saya sebagai aktivis Kampus Kuning 77/78 yang pernah dipenjara di masa Orde Baru.

Maka ketika bertemu kemarin (13/6), pertama kali yang dia tanyakan kepada saya sambil berkelakar, apakah saya masih jadi pejuang?  Tentu saja saya jawab, terus menjadi pejuang selama hayat dikandung badan.  Menurut dia, hanya perjuangan yang bisa merubah keadaan.  Tidak ada perubahan tanpa perjuangan.   

Pak Parni adalah wartawan senior Indonesia yang amat kaya dengan pengalaman, banyak gagasan dan luas pergaulannya.  Dia pernah tinggal di Jerman selama tujuh tahun sebagai kepala perwakilan LKBN Antara.  Pak Parni kenal Pak Habibie tahun 1977. Lalu atas prakarsa beliau, Pak Parni mendapat beasiswa untuk belajar Science of Journalism di Jerman.   

Ketika Pak Habibie menjadi Presiden RI, dia diberi amanah menjadi Direktur Utama LKBN Antara, tahun 1978.  Kemudian atas prakarsa Pak Habibie, bersama teman-teman dari ICMI mendirikan Harian Umum Republika, dan Pak Parni diberi kepercayaan menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi pertama harian tersebut, tahun 1993.

Pada saat Pak Parni memimpin Harian Umum Republika, April 1993 bersama Haidar Bagir, Sinansari Ecip, dan Erie Sudewo mendirikan sebuah lembaga amal yang disebut Dompet Dhuafa Republika. 

Dompet Dhuafa, menjadi ladang perjuangan Pak Parni  dan teman-teman untuk mengentaskan kaum lemah (wong cilik), yang  saya sebut sebagai “success story” Pak Parni karena  DD telah berkembang maju dan dikenal luas hari ini, dan insya Allah akan terus berkembang dan dikenang sepanjang masa. 

Lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa  yang sering disebut dengan akronim “DD”,  yang dibidani kelahirannya oleh Pak Parni dan sekarang menjadi Ketua Dewan Pembina,  telah dan terus memberi pemberdayaan kepada kaum dhuafa (wong cilik) dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan mental spiritual. 

Menurut Saut Saragih, mantan sekjen KAMMI yang kini aktif bersama saya sebagai pengurus Masjid Nurul Huda Deplu, DD merupakan tiga besar dalam menghimpun zakat, infaq, sadaqah dan wakaf selain Rumah Zakat, dan PKPU. 

DD telah memiliki cabang di berbagai negara di dunia, dan cabang di kota-kota besar di Indonesia, serta memiliki rumah sakit, sekolah dari SD sampai SMA, dan tengah merintis pendirian Dompet Dhuafa University. 

Harus Disiplin

Menurut Pak Parni, orang miskin harus disiplin.  Tidak mungkin bisa merubah nasib dan maju kalau tidak disiplin.  Pendidikan sebagai kunci untuk meraih kemajuan, mustahil bisa diraih, jika tidak disiplin.

Pandangan dan pemikiran Pak Parni, saya amini 100 persen.   Dalam menjalani kehidupan, saya diajarkan untuk disiplin oleh Dr. Fahmi Idris, mantan Menteri Tenaga Kerja RI dan mantan Menteri Perindustrian RI ketika saya aktif bersama beliau dan Dr. Fadel Muhammad, di Departemen Koperasi dan Wiraswasta DPP Golkar.  

Disiplin kemudian menjadi bagian dari hidup keseharian saya, tidak hanya disiplin waktu, tetapi juga disiplin pada cita-cita.  Setiap orang yang ingin maju, harus mempunyai cita-cita. Cita-cita yang ingin diraih harus terus diusahakan dan diperjuangkan perwujudannya dengan penuh disiplin dan konsisten.    

Selain itu, menurut Pak Parni,  harus bekerja keras, karena tanpa bekerja keras, tidak mungkin bisa maju dan sukses.  Juga harus jujur, santun, dan bertanggung jawab.  Kelima hal tersebut, kemudian dijadikan sebagai kode etik DD.

Disamping itu, menurut Pak Parni, harus cepat, cermat, tepat, hemat, bermanfaat dan bermartabat. Keenam tersebut dijadikan sebagai etos kerja DD.

Menurut saya, kita bisa belajar banyak hal dari Pak Parni dalam menjalani kehidupan ini, supaya kita terdorong untuk terus meningkatkan kualitas, agar bisa maju dan mampu bersaing dengan pihak lain, karena sekarang adalah era persaingan bebas.  Hanya mereka yang berkualitas, disiplin, bekerja keras dan konsisten, bisa memenangkan persaingan dalam seluruh lapangan kehidupan.

Kunci untuk mewujudkan itu semua, hanya satu kata “berjuang” dan yakin usaha sampai. Insya Allah saya akan terus berjuang untuk mewujudkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi mereka yang masih miskin, tergusur dan belum  beruntung dalam hidup ini.    

Allahu a’lam bisshawab   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun