Penonaktifan Universitas Ibnu Chaldun sebanyak dua kali, merupakan masa yang paling berat dan sulit.
Pertama, tidak mendapat layanan dari Kopertis selama terjadi penonaktifan. Akibatnya mahasiswa UIC tidak tercantum dalam Forlap Dikti. Dampaknya banyak mahasiswa yang minggat atau berhenti kuliah di Universitas Ibnu Chaldun.
Kedua, tidak mendapat bantuan apapun dari pemerintah. Dana hibah, beasiswa, dan bantuan apapun tidak ada.
Ketiga, mahasiswa yang kuliah di Universitas Ibnu Chaldun menurun luar biasa jumlahnya.
Keempat, Universitas Ibnu Chaldun mengalami masalah dalam akreditasi, karena selama masa penonaktifan tidak mendapat layanan dari Kopertis.
Kelima, kepercayaan publik menurun drastis terhadap Universitas Ibnu Chaldun.
Oleh karena itu, saat Kementerian Ristek Dikti RI menonaktifkan Universitas Ibnu Chaldun yang kedua kali bersama 243 Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dalam rapat bersama dengan Yayasan Pembina Pendidikan Ibnu Chaldun (YPPIC) saya ngotot luar biasa supaya kebijakan pemerintah menonaktifkan UIC dilawan dengan demo besar-besaran yang disertai penggalangan dukungan dari media.
Alhamdulillah Universitas Ibnu Chaldun merupakan satu-satunya PTS yang segera diaktifkan, karena konflik yang dijadikan alasan untuk menonaktifkan UIC, sama sekali tidak tepat dan tidak berdasar.
Akibat kebijakan pemerintah terhadap UIC, maka lembaga ini menghadapi tantangan berat seperti masalah sumber daya karyawan yang terbatas kualitas dan kuantitasnya, honor dosen dan karyawan tidak memadai, jumlah mahasiswa tidak signifikan, masalah akreditasi dan sebagainya.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi, tidak bisa dengan menggunakan manajemen “birokrasi” yang konvensional, lamban, tidak progresif, tidak fokus, tidak dinamis, dan tidak berani mengambil resiko.
Semua masalah harus diatasi dengan cepat dan tepat, tidak boleh menunda pekerjaan hari ini sampai besok (laa tuakhir ‘amal yaumi ilal ghadi).