Pada tanggal 21 Mei 2016 adalah hari yang amat penting dalam perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia karena hari itu Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lamanya, menyatakan berhenti sebagai Presiden RI setelah mendapat tekanan hebat dari mahasiswa yang menguasai gedung parlemen, para menterinya mengundurkan diri dan pimpinan DPR/MPR RI terpaksa mendukung tuntutan mahasiswa yang menghendaki Soeharto berhenti sebagai Presiden RI.
Kuatnya dukungan masyarakat Indonesia dan dunia internasional terhadap reformasi yang digulirkan mahasiswa Indonesia, tidak terlepas dari isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Isu KKN telah mempersatukan bangsa Indonesia, sehingga Presiden Soeharto tidak mempunyai pilihan kecuali berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Akan tetapi setelah 18 tahun reformasi berlalu, korupsi, kolusi dan nepotisme belum berakhir di Indonesia. Dalam berbagai peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para pakar mengatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak berkurang, malah semakin merajalela dan canggih.
Sebulan yang lalu, secara kebetulan saya bertemu dengan seorang konsultan proyek yang bernama Mahendra. Dia bercerita, pernah belajar di UGM kemudian melanjutkan studi di salah satu universitas di Jerman.
Dalam perbincangan, dia menceritakan pengalamannya menjadi konsultan teknik di berbagai proyek pemerintah. Sekarang sudah berhenti menjadi konsultan di proyek-proyek pemerintah, hanya menggarap proyek-proyek swasta bersama konsultan dari Jerman.
Saya tanya mengapa berhenti? Dia menjawab tidak tahan, akibat besarnya permainan di proyek-proyek pemerintah. Menurut dia, sekitar 40 persen anggaran di berbagai proyek pemerintah dikorupsi.
Saya amat terkejut mendengar informasi tersebut, karena saya pikir gencarnya pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah memberi pengaruh positif berkurangnya tingkat korupsi. Ternyata, tingkat korupsi masih amat tinggi. Permainan proyek masih berlanjut, hanya lebih halus dan canggih.
Informasi dari seorang konsultan proyek tersebut, terkonfirmasi kebenarannya sebagaimana diberitakan oleh Harian Kompas (19/5/2016) bahwa “sekolah dan dinas pendidikan menjadi lahan subur praktik korupsi di sektor pendidikan”. Besarnya alokasi anggaran di sektor pendidikan dan lemahnya pengawasan merupakan faktor krusial penyebab terjadinya korupsi di kedua institusi itu.
Mengapa Korupsi Berlanjut
Tahun 2013 saya menulis buku yang diberi judul “Korupsi di Era Demokrasi.” Permasalahan dalam praktik korupsi di Indonesia yang saya kemukakan dalam buku tersebut ada tiga yaitu budaya, sistem dan manusia.
Faktor budaya merupakan penyebab utama merajalelanya korupsi di Indonesia dan hambatan paling besar dalam pembangunan demokrasi. Jika kita ingin mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan membangun pemerintahan yang bersih (clean government), demikian pula halnya kalau kita mau membangun demokrasi yang baik, faktor budaya mutlak dibangun sehingga berperanan dalam mencegah dan memberi kontribusi yang positif bagi pemberantasan korupsi, serta pembangunan demokrasi (hal. 3-4).