Pertama, merasa tidak mampu membayar sewa rumah susun. Percuma pindah ke rusun karena akhirnya akan disuruh keluar seperti yang banyak dialami rakyat jelata lainnya.Â
Pendapat tersebut ada benarnya, karena warga ex Kampung Pulo yang digusur beberapa waktu lalu dan ditempatkan di Rusun Jatinegara, menurut informasi yang sangat valid sudah 38 keluarga yang menunggak sewa rusun. Besaran tunggakan antara Rp 1,7 juta sampai terendah Rp 1,2 juta. Pengelola sudah mendiktekan mereka untuk membuat pernyataan, kalau sampai Bulan Mei 2016 tidak sanggup membayar, mereka secara suka rela akan mengembalikan kunci kamar yang ditempati kepada pengelola.
Kedua, mereka menjadi penyewa seumur hidup. Mereka berpendapat, walaupun rumah mereka yang digusur, tempatnya dianggap kurang layak, tetapi milik sendiri.
Ketiga, sempit-tidak mampu dihuni semua keluarga mereka. Pada umumnya rakyat jelata banyak anak dan anak yang sudah berkeluarga, masih bergabung dengan orang tuanya, sehingga dalam satu keluarga bisa mencapai puluhan orang.
Keempat, jauh dari tempat mereka mencari nafkah. Dalam kasus warga Pasar Ikan yang digusur, benar sekali pernyataan mereka. Mereka itu mencari nafkah di laut dengan menggunakan perahu. Setelah mereka digusur dan ditempatkan di Rusun Marunda Jakarta Utara, dan Rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur, memerlukan tiga kali ganti kendaraan umum untuk sampai ke lokasi tempat perahu mereka sandar. Sebagai nelayan, tidak setiap hari mendapat rezeki kalau melaut. Belum lagi kalau sedang angin kencang dan gelombang tinggi, mereka tidak bisa melaut. Selain itu, siapa yang menjaga keselamatan perahu dan peralatan menangkap ikan mereka ketika mereka pindah di rusun.
Kelima, mereka yang digusur, termasuk di Pasar Ikan dapat dikatakan memulai hidup dari nol. Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan gerobak dan modal kerja Rp 5-10 juta, tetapi pekerjaan mereka adalah nelayan, berlayar dan kuli di pelabuhan Sunda Kelapa. Selain itu, mereka yang menempati rumah susun adalah masyarakat bawah, yang daya belinya rendah. Maka tidak akan menolong dan meningkatkan kehidupan mereka, disuruh berdagang ditempat mereka tinggal. Bisa jadi modal kerja akan habis dimakan, karena banyak yang mau membeli tapi daya beli rendah, karena semua miskin dan tidak ada pekerjaan dan penghasilan tetap.
Belajar dari Kota Kendari
Kota Kendari sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara menghadapi persoalan sosial yang tidak terlalu jauh berbeda dengan DKI Jakarta. Walaupun tingkat kompleksitas DKI Jakarta jauh lebih besar karena penduduknya besar, tetapi mempunyai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sangat besar –hampir mencapai Rp 70 triliun.Â
Pertanyaannya, pelajaran apa yang bisa diambil dari pembangunan di kota Kendari? Pertama, dengan APBD yang tidak sampai Rp 200 milyar per tahun, mampu membangun Rumah Susun (Rusun) untuk nelayan di pesisir pantai Kota Kendari dan pemulung di TPA. Setelah rusun dibangun di dekat tempat mereka tinggal, melalui dialog dan musyawarah, mereka pindah ke rusun, tanpa melalui penggusuran yang melibatkan aparat TNI, Polisi dan Satpol PP.
Kedua, rumah susun yang ditempati nelayan dan pemulung, semuanya gratis. Tidak ada sewa rusun, listrik, air juga gratis.
Ketiga, buruh di pelabuhan juga dibangunkan rusun dan semua gratis.Â
Menurut saya, apa yang dilakukan di Kota Kendari adalah sesuai UUD 1945 pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Selain itu, Pemerintah Kota Kendari juga mengamalkan sila-sila dari Pancasila.