Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Membangun DKI Tanpa Menggusur, Belajar dari Kota Kendari

22 April 2016   10:25 Diperbarui: 22 April 2016   18:50 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: print.kompas.com"][/caption]Sebagian berpendapat bahwa membangun DKI Jakarta dan Indonesia tidak mungkin tanpa menggusur rakyat jelata (wong cilik) yang mendiami kawasan yang dikategorikan illegal.

Pandangan itu telah diwujudkan oleh para penguasa sejak Orde Baru sampai di era Orde Reformasi dengan melakukan penggusuran demi penggusuran terhadap rakyat jelata dengan berbagai alasan, misalnya penggusuran Pasar Ikan Luar Batang Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, telah dikemukakan bahwa tujuannya untuk membangun 'wisata maritim' di kawasan yang digusur.

Akan tetapi, tanpa disadari akibat penggusuran yang dilakukan telah menciptakan banyak permasalahan.

Pertama, tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu 'melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…….”, semakin jauh dari yang diinginkan.

Kedua, kelima sila dari Pancasila semakin jauh dari implementasi. Mulai dari sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai sila kelima “Keadilan sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia” hanya dihafal dan sering diucapkan, tetapi tidak direalisasikan dalam kenyataan. 

Ketiga, pembangunan yang dilaksanakan sejak Orde Baru sampai di era Ode Reformasi, telah gagal mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan hanya semakin memperkaya orang-orang kaya dan rakyat jelata tidak kunjung keluar dari lembah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Keempat, pembangunan semakin menciptakan kesenjangan sosial ekonomi. Merupakan fakta gini rasio di DKI Jakarta, termasuk yang tertinggi sekitar 0,43. Artinya pembangunan hanya menguntungkan sekelompok kecil, sementara rakyat jelata yang merupakan mayoritas tidak banyak mendapat manfaat dari pembangunan.

Kelima, kemiskinan dan kebodohan masih menjadi bagian dari kehidupan rakyat jelata, yang sering digusur dan sekarang ini dipandang bahwa menempatkan mereka di rumah susun sewa merupakan solusi, dalam realitas justru semakin sulit kehidupan mereka.

Fakta dan Realitas
Selama ini pemerintah provinsi DKI Jakarta berpendapat bahwa kawasan yang ditertibkan direlokasi ke rumah susun sewa (rusunawa) sebagai solusi.

Mereka yang berpandangan legalistik mengamini dan mendukung kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sebagai contoh, rekan saya Evert Matulessy, Aktivis Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa 77/78 mengirim Whatsapp (WA) kepada saya beberapa hari lalu, supaya saya ikut mendorong “manusia perahu” pindah ke rusunawa yang telah disiapkan di Marunda, Jakarta Utara, dan di Rawa Bebek, Jakarta Timur. 

Saya setuju usulan tersebut, tetapi warga yang digusur berpendapat lain. Dari dialog yang saya lakukan sebanyak tiga kali dengan beberapa warga yang mengalami penggusuran di Pasar Ikan dan Kampung Akuarium, mereka menjawab, tidak pindah di rusunawa yang telah disiapkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun