Hari ini, Sabtu, 23 Januari 2016, partai Golkar akan menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Rapimnas Golkar ini menurut Harian Kompas (23/1/2016) akan dihadiri 500 peserta dari pengurus pusat, provinsi, kabupaten dan daerah.
Pelaksanaan Rapimnas Golkar ini akan berlangsung sampai tanggal 25 Januari 2016, diperkirakan bakal dihadiri 3.000 kader partai Golkar dari seluruh Indonesia.
Rapimnas ini sangat penting, karena Partai Golkar sedang dirundung perpecahan yang amat memprihatinkan. Rapimnas ini diharapkan bisa dijadikan sebagai pintu gerbang untuk menyelenggarakan Munas Luar Biasa Partai Golkar.
Melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar, diharapkan bisa menghasilkan islah (damai) antara mereka yang berkonflik. Walaupun sebagai sosiolog, saya tidak yakin melalui Munas Luar Biasa bisa mengakhiri konflik di Partai Golkar.
Konflik Partai Golkar ini tidak terlepas dari pemilihan Presiden/Wakil Presiden RI 2014. Pada pemilu Presiden tersebut, partai Golkar mendukung calon Presiden Prabowo Subianto dan calon Wakil Presiden Hatta Rajasa. Partai Golkar bukan hanya menjadi pendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi berada digarda terdepan dalam berjuang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta.
Akan tetapi, pertarungan dalam memperebutkan RI 1 dan R2 dimenangkan pasangan Jokowi-JK. Kemenangan pasangan ini, mendorong partai Golkar bersama partai-partai politik yang mendukung Prabowo-Hatta membentuk koalisi, yang mereka sebut Koalisi Merah Putih (KMP), sementara partai-partai politik yang mendukung pasangan Jokowi-JK membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Pertarungan selanjutnya antara dua kelompok kekuatan politik besar yaitu KMP dan KIH dilakukan dalam pemilihan pimpinan DPR, MPR dan DPD serta alat-alat perlengkapan DPR.
Koalisi Merah Putih (KMP) yang dipimpin Aburizal Bakrie, menyapu bersih seluruh pimpinan DPR, MPR dan DPD, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari pemerintahan baru.
Oleh karena itu, muncul berbagai upaya dengan memanfaatkan tokoh-tokoh di internal Partai Golkar dan di Partai Persatuan Pembangunan supaya mendukung pemerintahan baru.
Hasilnya lahir perpecahan di dua partai besar tersebut. Munas Partai Golkar di Bali tidak diakui, sementara Munas Partai Golkar di Ancol, disahkan Kementerian Kehakiman dan HAM. Begitu pula, hasil Muktamar PPP di Surabaya juga disahkan. Sebaliknya Muktamar PPP di Jakarta tidak diakui.
Perpecahan di Partai Golkar dan di PPP akhirnya dibawah ke ranah hukum. Dalam putusan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, walaupun dimenangkan kubu yang berada di KMP, tetap tidak kunjung selesai karena kuatnya pertarungan kepentingan dan intervensi kepentingan.
Para tokoh di Partai Golkar dan PPP berusaha keras mengakhiri konflik internal yang melemahkan dan menghancurkan mereka.
Kunci penyelesaiannya sangat ditentukan perubahan mindset (pola pikir) para elit partai antara yang kebelit masuk ke dalam kekuasaan dengan menggunakan kendaraan partai Golkar dan PPP atau mereka yang mau investasi ke masa depan dengan berada diluar kekuasaan seperti yang pernah dilakukan PDIP selama 10 tahun beroposisi dengan pemerintah, dan akhirnya diberi kepercayaan oleh rakyat dalam pemilu legislative dan pemilu Presiden.
Islah (damai) melalui Munas bersama Partai Golkar atau Munas Luar Biasa, tidak ada jaminan mereka kembali bersatu, karena orientasi kedua kubu yang berkonflik sulit disatukan, lantaran kepentingan kekuasaan. Begitu juga PPP yang sedang berjuang untuk islah melalui Muktamar.
Wallahu a’lam bisshawab
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H