[caption id="attachment_341000" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Survei di era Orde Reformasi telah menjadi sarana bisnis yang menggiurkan karena memberi keuntungan. Setiap kontestan yang akan bertanding dalam pemilukada di tingkat kabupatan, kota, provinsi, pemilu legislatif dan pemilihan Presiden (pilpres), biasanya menggunakan lembaga survei untuk melakukan penelitian guna mengetahui tingkat popularitas dan elektabilitas calon atau partai politik yang akan bertanding dalam pemilu.
Surveisejatinya merupakan metode ilmiah yang lazim dilakukan calon sarjana dan sarjana di semua tingkatan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari suatu masalah yang diteliti.  Survei adalah penelitian secara komprehensif yang dilakukan dengan wawancara atau menyebarkan kuesioner (daftar pertanyaan), dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam yang diteliti, apa yang mereka pikirkan, rasakan, atau kecenderungan mereka untuk melakukan tindakan.
Survei yang menggunakan penelitian kualitatif, dilakukan dengan wawancara mendalam dengan pertanyaan terbuka kepada responden, sementara survei yang menggunakan penelitian kuantitatif, dilakukan dengan menyebarkan kuesioner (daftar pertanyaan) tertutup kepada responden.
Penelitian yang marak dilakukan melalui survei untuk mengukur tingkat popularitas dan elektabilitas setiap calon yang akan bertanding dalam pemilukada, pemilu legislatif dan pemilihan Presiden, hampir semuanya menggunakan metode kualitatif dengan wawancara tatap muka atau melalui telepon.
Akan tetapi, dalam realitas survei sudah banyak disalah-gunakan demi fulus, sehingga terjadi pelacuran intelektual.
Jangan Dipercaya Sepenuhnya
Survei yang dilakukan untuk meneliti elektabilitas(keterpilihan) seorang calon Presiden dan calon Wakil Presiden, sebaiknya tidak dipercaya sepenuhnya.
Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan yang mendasari. Pertama, sangat dipengaruhi oleh yang membayar, sehingga hasilnya banyak bias dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Kedua, survei dilakukan bukan semata-mata untuk mengetahui secara mendalam yang diteliti, tetapi untuk mempengaruhi publik yang diteliti supaya memilih seorang calon Presiden dan calon Wakil Presiden tertentu yang membayarnya.
Ketiga, diduga banyak survei yang dilakukan untuk memberi legitimasi bahwa seorang calon, pantas dipilih oleh rakyat Indonesia karena telah mengalahkan elektabilitas calon lainnya.
Keempat, diduga untuk meningkatkan elektabiltas (keterpilihan) seorang calon. Ketika media memberitakan hasil penelitain, maka diharapkan parapemilih yang belum menentukan mau memilih siapa (swing voters), dapat terpengaruh dengan hasil survei tersebut.
Kelima, hasil survei banyak yang salah seperti pemilukada DKI Jakarta, semua penelitian menyebutkan bahwa Fauzi Bowo akan memenangkan pemilukada DKI Jakarta, tetapi hasilnya putaran pertama dan kedua dimenangkan Jokowi-Ahok.
Selain itu, pemilu legislatif 2014, tidak ada satupun hasil penelitian yang menyebutkan bahwa partai-partai politik Islam atau yang berbasis massa Islam memiliki masa depan, bahkan disebutkan akan terlempar dari parlemen (DPR) RI karena perolehan suara mereka dalam pemilu legislatif dibawah 3,5 persen. Hasilnya salah semua, partai-partai politik Islam atau yang berbasis massa Islam masih eksis dan bahkan meningkat perolehan suara mereka dalam pemilu legislatif 2014, kecuali PKS yang mengalami penurunan sedikit dan PBB yang gagal masuk ke DPR RI.
Oleh karena itu, dalam menghadapi pemilihan Presiden RI 9 Juli 2014, berbagai hasil survei pilpres 2014, tidak usah dipercaya sepenuhnya.  Menurut saya, setiap rakyat Indonesia (terutama yang berpendidikan) bisa melakukan survei dengan banyak berbincang berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat.
Dari hasil perbincangan itu, kita bisa mengetahui apa maunya sebagian besar rakyat Indonesia, mau memilih siapa dalam pilpres, sehingga kita terhindar dari tipuan para survei bayaran.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H