Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analisis Kritis Debat Cawapres JK Vs Cawapres Hatta

30 Juni 2014   16:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:10 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam debat calon Wakil Presiden antara Muhammad Jusuf Kalla dan Muhammad Hatta Rajasa pada 29 Juni 2014 di Hotel Bidakara Jakarta yang mengambil tema "Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan teknologi" dengan moderator Wikorita Karnawati, kedua kandidat Wakil Presiden menyampaikan visi misi nyaris sempurna dalam segmen 1.

Dalam segmen II penajaman visi misi cawapres, Hatta menjawab pertanyaan moderator dengan menjelaskan bahwa negara wajib melaksanakan pengembangan sumber daya alam (menurut penulis, mungkin yang beliau maksud sumber daya manusia) diatur oleh pasal 31 (yang dimaksud menurut penulis adalah pasal 31 UUD 1945).

Lebih lanjut Hatta kemukakan bahwa Prabowo-Hatta mempersiapkan pendidikan inklusif dan berkeadilan dengan menyiapakn anggaran dan meningkatkan dua kali lipat biaya operasional, dan mempersiapkan 10 triliiun (mungkin yang dimaksud Rp 10 triliun) untuk dua hal tersebut dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, yaitu untuk pengembangan tiga hal utama:
1. Kualitas
2. Keterjangkauan
3. Menambah sedikitnya 800 ribu guru dan berkualitas serta kesejahteraannya.

Analisis Kritis

Jawaban Hatta itu, tidak menjawab pertanyaan moderator yang meminta untuk mempertajam bagaimana bisa menjalankan pendidikan inklusif, berkelanjutan dan berkeadilan dengan anggaran kita yang masih terbatas, serta bagaimana meningkatkan produktivitas pengembangan inovasi di dalam keterbatasan dan dari mana anggaran itu bisa didapatkan?

Pertama, Hatta tidak menjawab pertanyaan moderator bagaimana menjalankan pendidikan inklusif, berkelanjutan dan berkeadilan dengan anggaran yang terbatas

Kedua, Hatta tidak menjawab bagaimana meningkatkan produktivitas pengembangan inovasi berkelanjutan dan berkeadilan dengan anggaran yang terbatas?

Hatta, malah mau meningkatkan dua kali lipat anggaran biaya operasional, dan mempersiapkan Rp 10 triliun untuk mengembangkan kualitas, keterjangkauan dan menambah 800 ribu guru, dengan tidak menyebut sumber dana dari mana. Pada hal semua tahu anggaran kementerian pendidikan dan kebudayaan RI sangat besar, dan menjadi sumber korupsi.

Dalam masalah IPTEK, Hatta hanya mengemukakan "seiring dengan pengembangan SDM dan kualitas bangsa Indonesia, kita yakin bisa bangun dengan memperhatikan hal tersebut".

Dalam segmen II, moderator dalam rangka penajaman visi misi JK yang menyoroti sistem pendidikan yang menekankan di bidang budi pekerti, mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti membutuhkan waktu dan proses yang lama, moderator menanyakan, bagaimana menyusun sistem pendidikan ini dalam masa keperiodean dan bagaimana mampu menangani gap kesenjangan untuk pengembangan inovasi nanti?

JK menjawab dengan mengemukakan "pengembangan budi pekerti dilakukan di semua mata pelajaran. Kita bisa melakukan di mata pelajaran sejarah, mata pelajaran matematika seperti kedisiplinan. Contoh di pendidikan mata pelajaran bahasa Indonesia, kita bisa membuat cerita heroik di dalamnya. JK menjelaskan mengenai revolusi mental membutuhkan proses. Kita harus mengevaluasi kualitas guru sehingga bisa menguasai mata pelajaran dan mampu menyampaikan kepada siswanya. Hal itu, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan guru yang harus diperhatikan.

Terkait inovasi, JK mengemukakan pemerintah harus memihak kepada ide dalam negeri, sehingga terjadi peningkatan inovasi dalam negeri. Inovasi dapat dikerjakan. Mengenai biaya, kita cukup 20 persen (maksudnya anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang tercantum dalam UUD 1945) dan itu selalu tumbuh dalam segi margin jumlah. Yang dibutuhkan menurut JK adalah efisiensi. Kita ingin lembaga tinggi, institusi riset yang menghasilkan percepatan pembangunan.

Analisis, pertama, pendidikan budi pekerti atau akhlak, sangat diperlukan bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Oleh karena itu, sangat tepat adanya pendidikan budi pekerti yang diajarkan kepada seluruh siswa. Pelaksanaan pendidikan budi pekerti ini sangat menarik karena tidak menambah mata pelajaran baru tetapi masuk ke seluruh mata pelajaran, sehingga dapat dilaksanakan lebih cepat, masif dan menyeluruh.

Kedua, guru merupakan kunci berhasilnya pelaksanaan pendidikan budi pekerti. Karena itu peningkatan kualitas SDM guru merupakan keniscayaan.

Ketiga, konten mata pelajaran, harus pula ditambahkan dengan contoh-contoh yang terkait pendidikan budi pekerti (akhlak) sehingga relevan dengan mata pelajaran yang diajarkan.

Keempat, pelaksanaan revolusi mental, sangat terkait pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah. Maka diperlukan bekerja lebih keras dan lebih cepat dalam melakukan sosialisasi, penataran dan kampanye secara masif untuk mewujudkan revolusi mental dengan melibatkan partisipasi semua kekuatan di dalam masyarakat.

Kelima, yang dikemukakan JK lebih menjawab pertanyaan moderator, sekaligus memberi solusi atas persoalan bangsa yang carut macut karena runtuhnya akhlak bangsa Indonesia. Seorang ahli syair pernah berkata bahwa "sesungguhnya suatu bangsa akan tegak kalau akhlaknya tegak, dan bangsa itu akan lenyap, kalau bangsa itu tidak lagi memiliki akhlak".

Segmen III, moderator kembali bertanya kepada JK dengan mengemukakan "menyadari adanya kesenjangan dalam kualitas SDM dan penyebarannya di berbagai daerah Indonesia, dan daya saing SDM kita yang rebdah di pasar global. Bagaimana mengatasi hal tersebut. Justru SDM berkualitas memilih berkarya di luar bagaimana menanggapi ini?

JK merespon pertanyaan moderator dengan mengemukakan "Seperti kita pahami, SDM berbeda karena pendidikan yang berbeda. Kita perlu pemetaan mengenai pendidikan di daerah yang kurang. Distribusi guru harus diperhatikan serta perlu mendorong supaya rakyat mengikuti pendidikan".

JK mengapresiasi gerakan Indonesia mengajar yang dilakukan oleh Pak Anies itu salah satu contoh untuk menangani kesenjangan. Ada dua faktor yang harus diperhatikan, yakni pendidikan dan ekonomi.

Mengenai SDM yang memilih berkarya di luar negeri, JK menjawab, kita memperhatikan dari segi positif mereka menghasilkan devisa yang baik bagin negara kita. Negatifnya, kontribusi mereka menjadi tidak terlalu tinggi (maksudnya "bagi kemajuan bangsa").

Menurut JK, hal itu terjadi karena mereka merasa dihargai di luar. Tentu kita harus memperhatikan masalah itu. Untuk SDM boleh bekerja diluar negeri namun ke depannya itu mencari pengalaman.

Pertanyaan yang sama diajukan kepada Hatta. Beliau menjawab dengan mengatakan "Dari 150 juta angkatan kerja kita, memang 45 persen masih tamatan SD. Hanya 8 persen yang tamatan perguruan tinggi". Jadi sebenarnya ini yang harus kita perhatikan. Kita harus meningkatkan tamatan perguruan tinggi minimal 40 persen. Bagaimana dengan tamatan SD yang sudah di lapangan. Menurut Hatta, kita harus meningkatkan tarining di lapangan. Kita harus meningkatkan dan menumbuhkan pusat-pusat pengembangan sumber-sumber pertumbuhan baru berbasis produk lokal.

Mengenai tenaga kerja di luar, Hatta mengemukakan dua pendekatan:
pertama, dari sisi strategi pembangunan. Contoh, jika kita menjual bahan mentah, tentu para engineer kita bekerja di luar. Kedua, memperhatiakn contoh di India, mereka bekerja di luar
tetapi tujuannya untuk membuka lapangan pekerjaan domestik.

Kesimpulan

Dalam mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengemukakan analisis kritis dari debat kedua cawapres tersebut. Pertama, JK dan Hatta mengemukakan visi misi dengan baik, dan patut diberi apresiasi.

Kedua, debat cawapres tersebut sebaiknya jangan dijadikan tolok untuk memilih capres dan cawapres pada 9 Juli 2014 karena lebih baik kedua cawapres itu dilihat kinerjanya selama dipercaya menjadi menteri. JK sewaktu menjadi Wapres 2004-2009 disebut sebagai "the real president", sedang Hatta, ketika menjadi Menko Perekonomian RI 2009-2014, dikalangan kabinet beliau disebut sebagai "the real prime minister" (perdana menteri) karena memiliki kekuasaan yang besar.

Pertanyaannya, apa yang dilakukan kedua cawapres untuk kebaikan dan kemajuan rakyat, bangsa dan negara yang kita cintai ini? Secara jujur harus diakui, JK banyak success story yang ditinggalkan selama menjadi Menteri Perdagangan, Menko Kesejahteraan Rakyat dan Wapres RI yang dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya rakyat Indonesia. Itu sebabnya, beliau digandeng kembali untuk menjadi cawapres Jokowi 2014.

Sementara Hatta, selama Orde Reformasi memegang berbagai jabatan penting di pemerintahan seperti Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BBPT, Menteri Perhubungan, Menteri Sekretaris Negara, dan terakhir Menko Perekonomian RI, tetapi mohon maaf success story yang dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia khusus rakyat jelata sangat minim.

Maka ingat kata Bung Karno "Jas Merah" (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Lihat dan selidiki rekam jejak (track record) capres dan cawapres supaya rakyat tidak tertipu untuk kesekian kalinya dan mengalami nasib sulit seperti sekarang ini.

Wallau a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun