Pertanyaan itu diajukan Musfihin Dahlan, Wakil Sekretaris Jenderal DPP partai Golkar kepada Martunus Haris, mantan Ketua Umum HMI Cabang Jakarta sewaktu bertemu dalam buka puasa bersama di kediaman Dr. Akbar Tandjung pada 7 Juli 2014.
Martunus Haris menceritakan hal tersebut kepada saya tadi malam (16/7/2014) ketika bersama-sama menghadiri buka puasa bersama di kediaman Irman Gusman, Ketua DPD RI di Jalan Denpasar Jakarta.
Masalah tersebut dipilih menjadi tajuk dalam tulisan ini, karena ada kebiasaan politik di Indonesia yang harus dikoreksi kalau mendukung salah satu calon pejabat politik seperti calon Bupati/Wakil Wakil Bupati, calon Gubernur/Wakil Gubernur, calon Presiden/wakil Presiden harus dibayar.
Karena cara itu diamalkan, maka tidak heran jika Prabowo Subianto, calon Presiden RI, pernah mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sangat mahal. Pasti sangat mahal, kalau setiap partai politik, ormas, perkumpulan atau komunitas yang memberi dukungan dan menyampaikan deklarasi dukungan harus dibayar, sebab selain itu calon harus mengeluarkan berbagai macam biaya seperti biaya kampanye, membeli bajo kaos, membuat spanduk, biaya iklan di media, honor petugas di sekretariat dan di lapangan, honor saksi di TPS dan lain sebagainya.
Deklarasi Tidak Dibayar
Aktivis 77/78 mendukung Jokowi/JK dengan melakukan deklarasi di Graha Warung Solo, Kemang Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, sama sekali tidak dibayar oleh siapapun. Tempat itu dipinjami dan disediakan makan oleh pemilik restoran yang berasal dari Solo dan merupakan pendukung setia Jokowi sejak menjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2012 sampai menjadi calon Presiden RI.
Yang menggunakan tempat itu, berbagai komunitas termasuk para alumni Universitas Indonesia yang melakukan deklarasi mendukung Jokowi-JK. Semuanya gratis dan disediakan makan oleh pemilik restoran.
Aktivis 77/78 tidak mendapat bayaran dari Jokowi-JK dan timnya. Biaya buat spanduk (banner) yang dipasang didepan tempat acara, dan biaya telepon dan kirim sms mengundang untuk menghadiri deklarasi dikumpulkan oleh Irvan Rahardjo, ketua pelaksana deklarasi dukung Jokowi-JK dengan mengedarkan celengan seperti di Masjid atau Gereja kepada teman-teman dan undangan yang menghadiri deklarasi.
Sebelum deklarasi dukung Jokowi-JK, saya memesan puluhan spanduk mini yang bertulis Aktvis 77/78 Dukung Jokowi-JK Pilih dan Coblos No. 2. Sumber dananya dari honor saya ketika menjadi narasumber di JAK TV.
Untuk menghemat biaya, saya dibantu imam Masjid Nurul Huda memasang berbagai spanduk di jalan Abdul Majid Raya, Cipete Selatan, Cilandak dan di Jalan Antarasari Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan membawa tangga dari rumah dan membeli tali rafia.
Pada saat acara deklarasi, saya dibantu Krisnan Moelyono memasang spanduk Aktivis 77/78 di depan gedung tempat pelaksanaan acara deklarasi.
Dengan demikian, deklarasi dukung Jokowi-JK adalah partisipasi murni dari masyarakat termasuk dari aktivis 77/78 yang terpanggil untuk melakukan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik melalui pemilihan Presiden RI 9 Juli 2014.
Partisipasi Otonom
Pada umumnya dukungan kepada Jokowi-JK tidak dibayar termasuk yang dilakukan aktvis 77/78. Partisipasi semacam ini dikenal dengan istilah autonomous participation (partisipasi otonom).
Partisipasi otonom adalah keikut-sertaan seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam proses politik atau pembangunan yang tumbuh dari kesadaran diri sendiri atau dari satu kelompok untuk melakukan sesuatu secara suka rela.
Lawan daripada partisipasi otonom adalah mobilized participation (partisipasi mobilisasi) yaitu keikut-sertaan seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam satu kegiatan politik, sosial, pembangunan dan lain sebagainya karena dimobilisasi, misalnya dimobilisasi dengan uang, sembako (sembilan bahan pokok), dipaksa secara halus atau kasar dan lain sebagainya.
Model pembangunan politik di masa Orde Baru, ternyata masih dilakukan dengan partisipasi yang dimobilisasi. Sejatinya pengamalan demokrasi di masa Orde Reformasi, dirubah menjadi partisipasi otonom.
Jokowi-JK dalam pemilihan Presiden RI 2014 mencoba mewujudkan partisipasi otonom dengan melibatkan keikut-sertaan masyarakat secara luas, misalnya membuka rekening untuk membantu dana kampanye Jokowi-JK. Hasilnya luar biasa dan cukup besar jumlah penyumbang dan besarnya sumbangan yang diberikan.
Begitu juga dalam memilih partai politik yang berkoalisi, berdasarkan pengalaman, PDI Perjuangan sebagai pengusung utama Jokowi-JK, tidak mau mengikuti cara-cara lama dengan bagi-bagi jatah kursi di kementerian, dan juga ada deal (perundingan) berapa besar dana yang akan diberikan kepada partai pendukung.
Pendekatan semacam itu ditinggalkan oleh PDI Perjuangan, dan sangat tepat untuk mengurangi besarnya biaya politik untuk meraih jabatan politik. Selain itu, bisa mencegah berlanjutnya korupsi di pemerintahan pada semua tingkatan.
Pengalaman aktivis 77/78 yang tidak dibayar ketika deklarasi mendukung Jokowi-JK, begitu pula partai-partai politik pengusung Jokowi-JK dan berbagai komunitas pendukung, serta pendekatan Jokowi-JK dalam mempartisipasikan masyarakat untuk terlibat secara aktif dan otonom dalam proses pemilihan Presiden RI, sebaiknya dikembangkan, digelorakan, dilaksanakan dan dibudayakan, supaya seluruh rakyat Indonesia merasa terlibat dan ikut serta secara aktif dalam proses pemilihan Presiden sehingga merasa memiliki dan bertanggungjawab.
Begitu juga dalam proses pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, biaya politik bisa ditekan seminim mungkin, sehingga setelah berkuasa tidak korupsi karena mayoritas yang membiayai adalah rakyat sebagai pendukung, bukan diri sendiri dan para konglomerat.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H