[caption id="attachment_396576" align="aligncenter" width="588" caption="Ilustrasi razia preman. (Kompas.com/Robertus Belarminus)"][/caption]
Pagi ini (13/2/2015) Kompas menurunkan berita di halaman depan "Polisi memberi jaminan keamanan di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya dengan menangkap 3.000 preman. Warga Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya, patut bersyukur karena polisi memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat, yang belakang ini menghadapi rasa tidak aman. Pertanyaannya, mengapa premanisme tidak pernah habis, dan tidak pernah tercipta kondisi yang benar-benar aman untuk kurun waktu yang panjang. Setidaknya terdapat 5 (lima) penyebab yang mendasari.
Pertama, akar masalah dari persoalan premanisme yang dihadapi masyarakat bawah yaitu pengangguran dan kemiskinan belum bisa diatasi. Akibatnya, residu dari persoalan sosial yang amat kompleks, paling banter hanya bisa diredam oleh polisi dengan menangkap para preman.
Kedua, hulu dari persoalan premanisme yaitu cara pandang, sikap mental, perilaku serta persoalan sosial ekonomi yang tidak pernah ditangani secara tuntas. Karena tidak ditangani penyebab utama premanisme, maka para preman yang sudah ditangkap polisi, setelah keluar dari tahanan, kembali melakukan profesi semula.
Ketiga, tidak ada pembinaan berkelanjutan. Para preman setelah keluar dari tahanan polisi, lingkungan sosial mereka mendorong untuk melakukan kembali premanisme.
Keempat, persoalan perut. Para preman tidak mempunyai pendidikan tinggi dan tidak pula mempunyai kepakaran (skill). Satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup, ialah dengan melakukan premanisme.
Kelima, pemerintah tidak mempunyai program nyata untuk memberdayakan dan memajukan mereka. Maka untuk menciptakan ketenangan dan ketenteraman di masyarakat, para preman yang sering melakukan kejahatan di jalanan dan di lingkungan permukiman, hanya ditangkap kemudian dilepas kembali dari tahanan.
Cara Mengatasi
Premanisme dalam segala bentuknya merupakan penyakit sosial yang sejatinya diatasi secara tuntas. Akan tetapi, mengatasi premanisme tidak mudah.
Pertama, memerlukan sinergi instansi pemerintah. Pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah, tidak mempunyai pilihan kecuali melakukan kerja sama dengan semua instansi terkait untuk mengatasi premanisme.
Kedua, perlu revolusi mental. Para preman yang ditangkap dalam operasi pengamanan, wajib mengikuti “motivation camp” yang dilaksanakan instansi pemerintah atau swasta untuk melatih mereka mengubah pola pikir, perilaku dan tindak-tanduk dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, diperlukan penindakan dan edukasi serta pemberdayaan sosial ekonomi para preman agar bisa kembali ke jalan yang benar setelah ditahan.
Keempat, pembinaan mental spiritual dan sosial ekonomi secara berkelanjutan, agar para preman tidak kembali ke profesi semula, karena desakan perut.
Kesimpulan
Manusia pada dasarnya baik. Lingkungan dan faktor harta, tahta, dan wanita yang bisa menjerumuskan. Premanisme lebih disebabkan oleh faktor harta. Mereka tidak mempunyai kepakaran (keahlian) kerja dan bisnis serta pendidikan yang memadai untuk keluar dari lingkaran premanisme.
Pemerintah daerah suka tidak suka harus bekerja sama dengan masyarakat dan polisi untuk mengakhiri premanisme yang merajalela. Kunci penyelesaian premanisme ialah pembinaan mental spiritual yang berkelanjutan serta pemberdayaan sosial ekonomi.
Semoga tulisan singkat ini memberikan dorongan kepada pemerintah daerah, polisi, ilmuan, para tokoh agama dan tokoh untuk bersama-sama memecahkan persoalan premanisme.
Allahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H