Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Musni Umar: Publik Tidak “Happy” Konflik DPRD DKI vs Gubernur Ahok

26 Februari 2015   11:15 Diperbarui: 4 Maret 2016   09:40 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Musni Umar dan Ketua Bawaslu DKI Jakarta"][/caption]
Konflik antara DPRD DKI vs Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang populer dengan panggilan Ahok, akan memasuki babak baru karena DPRD DKI Jakarta pada hari ini 26 Februari 2015 akan melaksanakan rapat paripurna DPRD DKI Jakarta untuk pengesahan hak angket.

Hak angket adalah hak yang dimiliki anggota parlemen termasuk anggota DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap sebuah kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

DPRD DKI Jakarta mau melakukan hak angket untuk menyelidiki Gubernur Ahok yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan, karena menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta tahun 2015 kepada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang tidak dibahas dan disepakati dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta.

Publik Tidak Suka Ada Konflik

Merupakan hak konstitusional DPRD DKI Jakarta melakukan hak angket terhadap Gubernur Ahok, karena hak angket merupakan sarana untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif.

Akan tetapi, pelaksanaan hak angket, suka tidak suka dan mau tidak mau, pasti menimbulkan konflik baru. Dalam teori, setidaknya terdapat dua pandangan dalam melihat tentang konflik.

Pertama, pandangan konvensional (tradisional) yang menganggap bahwa konflik harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena merusak dan menimbulkan mudarat. Rezim Orde Baru, termasuk yang menganut teori konvensional karena mengharamkan adanya konflik, sehingga setiap muncul konflik, akan dibasmi karena dianggap mengganggu stabilitas nasional yang menjadi salah satu trilogi pembangunan.

Kedua, pandangan kontemporer (modern), yang beranggapan bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Sejak manusia ada di dunia, konflik sudah ada. Maka konflik tidak bisa dielakkan. Yang bisa dilakukan adalah mengeliminasi supaya konflik yang terjadi, tidak menimbulkan kerusakan dan kehancuran.

Pandangan kontemporer menjelaskan bahwa konflik tidak seluruhnya negatif, bahkan konflik bisa menciptakan integrasi yang lebih kukuh sesudah konflik. Walaupun begitu, mayoritas rakyat Indonesia, termasuk di DKI Jakarta sudah telanjur berpandangan bahwa konflik tidak ada manfaatnya, hanya menimbulkan kebencian, permusuhan, kerugian,  dan kemudaratan.

Oleh karena itu, publik tidak suka kalau para pemimpin, apalagi DPRD dan Gubernur Ahok berkonflik, karena pada akhirnya yang rugi dan korban adalah rakyat. Pepatah mengatakan “gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah".

Prihatin Ada Konflik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun