Mohon tunggu...
Musmuliyadi
Musmuliyadi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Universitas Puangrimaggalatung

Saya suka membaca dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kerangka Pengembangan Ekonomi Biru Untuk Transformasi Perekonomian Indonesia Maju Dan Berkelanjutan

13 Januari 2024   14:56 Diperbarui: 13 Januari 2024   14:59 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perekonomian Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang dan mencapai tingkat yang lebih maju dan berkelanjutan. Kerangka pengembangan ekonomi biru adalah pendekatan yang dapat membantu mewujudkan tujuan tersebut.  Konsep ini menekankan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perairan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, kerangka pengembangan Ekonomi Biru memegang peranan penting dalam merumuskan strategi dan kebijakan yang mendukung transformasi perekonomian Indonesia.

Kerangka pengembangan Ekonomi Biru tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga aspek lingkungan, sosial, dan budaya. Dengan memanfaatkan potensi kelautan dan perairan, Indonesia dapat mengoptimalkan sektor-sektor seperti perikanan, pariwisata, energi terbarukan, dan transportasi laut. Hal ini akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan di berbagai wilayah.

Melalui kerangka pengembangan Ekonomi Biru, diharapkan Indonesia mampu menghadirkan inovasi-inovasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sambil tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif tentang kerangka pengembangan Ekonomi Biru dalam konteks transformasi perekonomian Indonesia menuju arah yang lebih maju dan berkelanjutan. Artikel ini akan menjelaskan konsep dan langkah-langkah dalam kerangka pengembangan ekonomi biru yang dapat diterapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

A. Konsep Ekonomi Biru

Blue economy atau jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah Ekonomi Biru yang dimana konsep ini muncul untuk mendukung jalannya konsep Green Economy yang berorientasi pada peningkatan kualitas lingkungan, pengurangan emisi atau rendah karbon, dan lain-lain yang berhubungan dengan peningkatan dan pengembangan kualitas lingkungan yang dapat menguras emisi dan polusi terhadap lingkungan. Blue Economy ini muncul bersamaan dengan hadirnya Green Economy demi mendukung dari rencana atau misi dari green ekonomi itu sendiri. Lain halnya dengan green economy yang fokus pada lingkungan, Blue Economy berfokus untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dari sektor perikanan dan kelautan di Indonesia. Pada model pendekatan blue economy ini berusaha untuk tidak berpaku pada kegiatan ekonomi yang mengandalkan basis eksploitasi sumber daya dalam laut dalam artian tidak mengeruk seluruh sumber daya alam dan lingkungan yang dimiliki. Namun, blue economy memiliki tujuan lain yakni dengan meninggalkan praktek ekonomi lama yang hanya menghasilkan keuntungan jangka pendek tetapi dapat menghasilkan dampak dalam jangka panjang, selain itu Blue Economy juga berfokus untuk mengurangi emisi dan berusaha untuk mengurangi polusi lingkungan yang dapat merusak kestabilan alam. Blue economy masih tergolong konsep yang baru dalam perencanaan pembangunan di Indonesia namun melihat Indonesia menjadi salah satu negara maritime yang memiliki lautan yang luas dengan sumber daya alamnya yang kaya maka konsep dari Blue Economy ini dapat digunakan dalam pembangunan dan ekonomi pada bidang perikanan dan kelautan di Indonesia.

Konsep Blue Economy dilandasi oleh dua prinsip fundamental. Pertama, efisiensi alam atau nature's efficiency, yang dimana konsep Blue Economy mencoba untuk menyelaraskan diri dengan siklus produksi ekosistem alam yang ditujukan untuk memperkaya sumber daya dan mengurangi segala tindakan eksploitasi berlebihan. Kedua, Zero Waste, yang di mana berarti limbah atau sampah dari suatu sumber daya diolah kembali agar bisa menjadi suatu bahan yang bermanfaat sehingga mampu menciptakan lingkungan dan ekosistem yang seimbang dan berkelanjutan. Blue Economy merupakan model pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan antara pembangunan lautan dan daratan, menekan pengoptimalisasian penggunaan teknologi, dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan dari sumber daya laut. 

Indonesia dengan laut yang luas ditambah dengan sumber daya yang melimpah dapat mengadopsi konsep Blue Economy dikarenakan banyaknya masyarakat wilayah pesisir pantai yang banyak mencari ikan sebagai sumber penghasilan mereka harus didukung dengan konsep ini agar sumber daya yang diambil dalam laut tersebut tidak didapatkan dengan cara-cara yang salah dan tidak diambil secara keseluruhan. Implementasi dari Blue Economy ini dapat menggunakan bantuan dari stakeholder yang berkaitan dengan masyarakat setempat agar dapat pemahaman yang tepat tentang konsep dari Blue Economy yang akan diterapkan.

Konsep dari Blue Economy merupakan pemikiran atau paradigma yang memberikan konsep yang baru dengan tujuan yang dapat menghasilkan arus pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menjamin kelestarian sumber daya dan lingkungan yang seimbang (sustain) dan penggunaannya yang optimal. Melihat Indonesia yang memiliki wilayah pesisir memberikan poin baik yang lebih dan dapat berpengaruh pada pembangunan dalam negeri. Blue economy diyakini dapat memberikan dorongan pertumbuhan ekonomi dan memberikan keuntungan sekaligus pemberdayaan bagi masyarakat pesisir pantai. Blue economy ini juga tidak hanya ramah pada lingkungan (environmental friendly) tetapi dapat menjadi kas ganda (multiple cash flow) yang tentunya memberikan keuntungan yang berlipat ganda jika dalam implementasinya tepat dan sampai kepada masyarakat khususnya masyarakat pesisir.

B. Potensi Sumber Daya Kelautan Indonesia

Potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia yang bermuara dari laut dan sumber daya didalamnya antara lain:

1. Industri Perikanan

Indonesia memiliki sektor perikanan terbesar kedua di dunia dengan nilai sekitar USD27 miliar terhadap PDB dan menyediakan 7 juta pekerjaan dan lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani negara (World Bank, 2021). Indonesia memiliki keragaman komoditas perikanan, baik perikanan tangkap, maupun budidaya. Lima besar ikan yang ditangkap adalah tongkol, layang, cakalang, cumi-cumi, dan tuna. Sentra produksi perikanan tangkap banyak terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara memberikan kontribusi nilai tambah terbesar pada perikanan tangkap. Sementara itu, akuakultur/perikanan budidaya berkelanjutan di Indonesia dapat diperluas dengan memprioritaskan spesies tingkat trofik rendah, termasuk rumput laut. Lima besar produk perikanan budidaya Indonesia tahun 2015 hingga 2020 adalah komoditas rumput laut, nila, lele, udang, dan bandeng. Sentra utama rumput laut adalah Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah. Sentra produksi ikan nila adalah Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Nilai ekspor perikanan tahun 2020 mencapai USD5,2 miliar dengan komoditas utama ikan cakalang, udang, dan rumput laut.

2.  Manufaktur dan Konstruksi Kelautan.

Struktur laut meliputi anjungan lepas pantai, kabel dan pipa bawah laut, kendaraan wisata, pelabuhan kargo, pelabuhan utama, reklamasi, dan penambangan pasir. Salah satu jenis bangunan laut yang dibangun di lepas pantai adalah anjungan minyak dan gas lepas pantai (AMLP), yaitu struktur atau bangunan yang dibangun di lepas pantai untuk mendukung proses eksplorasi atau eksploitasi minyak dan gas. Saat ini terdapat lebih dari 600 AMLP yang tersebar di perairan Indonesia seperti di Laut Utara Jawa, Sumatera, Natuna, dan Jawa Timur. Sebagian besar AMLP ini dibangun sekitar tahun 1970-an hingga awal 1990-an. Beberapa AMLP sedang (atau telah) memasuki akhir masa produksinya. Dalam peta jalan dekomisioning yang disusun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), terdapat sekitar 102 AMLP pasca produksi yang diusulkan untuk dibongkar atau digunakan kembali untuk sektor lain dalam waktu dekat. Sebagian besar AMLP ini berlokasi di wilayah Laut Jawa (Bappenas, 2021).

3. Minyak dan Gas

Turunnya produksi minyak dan gas bumi sebesar 20 persen dari tahun 2010 hingga 2019 membuat Indonesia menjadi net importir minyak, dan kemungkinan akan menjadi net importir gas bumi di masa depan (Agarwal et al., 2020). Indonesia masih berkutat dengan pengembangan energi terbarukan, dengan hanya 2 persen dari gabungan potensi sumber panas bumi, matahari, angin, air, dan biomassa, dan hanya 12 persen listrik dari energi terbarukan (Agarwal et al., 2020). Di sisi lain, kebutuhan energi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Sebagian besar kebutuhan energi total Indonesia berasal dari energi komersial dan mengandalkan penggunaan sumber energi konvensional seperti minyak dan gas. Total konsumsi energi final tahun 2018 sebesar 875 juta barel setara minyak, dimana pangsa konsumsinya masih didominasi oleh bahan bakar minyak (BRSDM KKP, 2021).

4. Industri Pengolahan Makanan Berbasis Kelautan

Industri pengolahan berbasis hasil perikanan telah lama berkembang di Indonesia, dengan pelaku industri terdiri dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan industri besar. Mayoritas industri pengolahan berada di wilayah Indonesia bagian barat, sedangkan bahan baku dipasok dari wilayah tengah dan timur (Bappenas, 2021). Produk ikan olahan utama terdiri dari tuna segar, tuna beku, tuna kaleng, udang, dan ikan kayu dengan bahan baku sebagian besar ikan cakalang. Sumber lain untuk industri pengolahan makanan berasal dari rumput laut dan ganggang yang dapat diolah dan diaplikasikan pada produk makanan seperti makanan beku, dessert, permen, jus buah, dll. Pada tahun 2017, sebagian besar pengolahan ikan dan pengalengan tuna di Indonesia didominasi oleh UMKM (98,2 persen). Kondisi ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang rendah. Pertumbuhan unit pengolahan ikan di Indonesia relatif rendah yaitu hanya 0,5 persen untuk UMKM dan 2 persen untuk industri besar. Pertumbuhan yang rendah tersebut mungkin terkait dengan fakta bahwa margin ekonomi untuk produk ikan olahan seringkali lebih tinggi dalam pengolahan sederhana (pembekuan, segar, dan sashimi) dibandingkan produk olahan lebih lanjut. Pada tahun 2019, nilai tambah industri pengolahan berbasis kelautan besar dan sedang adalah Rp29,96 triliun (BPS, 2022). Lebih sedikit nelayan juga terlibat dalam kegiatan pengolahan ikan karena pasar yang lebih terbatas untuk produk olahan dibandingkan dengan produk olahan segar dan sederhana. Pada tahun 2018, lebih dari 1 juta pekerja terlibat dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan (Bappenas, 2021).

5. Industri Bahan Kimia Berbasis Laut

Sedimen mikroorganisme, tumbuhan mati, dan hewan di dasar laut menyediakan sumber minyak bumi dan gas alam. Industri petrokimia menggunakan senyawa hidrokarbon dari minyak bumi dan gas alam sebagai bahan baku dasarnya. Industri petrokimia merupakan subsektor dari industri petrokimia, kimia, dan barang dari karet. Dari 2009 hingga 2013, industri petrokimia tumbuh 4,6 persen per tahun. Pada tahun 2013, subsektor ini menghasilkan 12,21 persen dari total PDB sektor industri nonmigas. Industri petrokimia terbesar terletak di Cilegon. Berdasarkan kajian Kementerian Perindustrian dan Sucofindo, migas memiliki cadangan masing-masing sebesar 7.534,90 MMSTB dan 142,72 TSCF. Terletak di Sulawesi, Maluku, Papua, Kalimantan, dan Sumatera (Bappenas, 2021).

6.Perdagangan, Transportasi, dan Logistik

Secara global, transportasi laut menyediakan moda utama untuk memfasilitasi pengiriman berbagai jenis barang dan penumpang. Pada tahun 2018, lebih dari 95 persen ekspor global Indonesia, dalam hal nilai, diangkut melalui laut. Angka ini lebih tinggi lagi jika kita menggunakan trade-in volume terms, dimana hanya 0,03 persen ekspor Indonesia yang dikirim bukan melalui angkutan laut. Angka tersebut dapat diprediksi karena keunggulan komparatif Indonesia masih berupa sumber daya alam dan produk-produk besar yang hanya dapat dikirim melalui transportasi laut (Bappenas, 2021). Sementara itu, aktivitas angkutan penumpang laut juga meningkat. Statistik Indonesia 2020 melaporkan bahan dibandingkan dengan tahun 2018, jumlah penumpang kapal pada tahun 2019 untuk penumpang yang berangkat dan turun naik masing-masing sebesar 10,71 persen dan 11,37 persen (Bappenas, 2021). Sektor pengangkutan dan pergudangan menyumbang sekitar USD63,4 miliar bagi perekonomian Indonesia, terhitung 5,57 persen dari PDB-nya pada tahun 2019. Menariknya, dalam (BPS, 2022) meskipun Indonesia adalah negara kepulauan, transportasi laut hanya menyumbang 0,32 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2019, sedangkan sektor pangsa terbesar adalah angkutan darat (2,47 persen) dan angkutan udara (1,63 persen). Namun, pada tahun 2020, akibat pandemi, kontraksi pertumbuhan ekonomi angkutan laut relatif lebih kecil, yakni sebesar 4,57 persen, dibandingkan seluruh sektor angkutan yang mengalami kontraksi sebesar 15,04 persen. Dari segi nilai tambah, pelayaran laut Indonesia menyumbang 1,3 persen kegiatan ekonomi kelautan pada tahun 2013. Berdasarkan data nilai tambah bruto/gross value added dari OECD, Indonesia juga menghasilkan nilai tambah terbesar dari angkutan laut (USD2,6 miliar, atau 8,0 persen dari harga konstan 2010) dan angkutan penumpang laut (USD2,2 miliar, atau 7,0 persen) dibandingkan dengan negara-negara ASEAN pada tahun 2015.

C. Kerangka Pengembangan Ekonomi Biru

Dalam mengembangkan ekonomi biru diperlukan kerangka yang jelas dan terstruktur. Langkah-langkah yang dapat dilakukan sebuah negara untuk mengimplementasikan ekonomi biru antara lain:

Negara-negara harus secara akurat menilai kontribusi modal kelautan terhadap kesejahteraan, untuk membuat keputusan kebijakan yang tepat, termasuk yang berkaitan dengan pertukaran di antara berbagai sektor ekonomi biru.

Investasi dalam penggunaan ilmu pengetahuan, data, dan teknologi terbaik yang tersedia sangat penting untuk mendukung reformasi tata kelola dan membentuk keputusan manajemen untuk memberlakukan perubahan jangka panjang.

setiap negara harus mempertimbangkan kepentingan relatif dari setiap sektor ekonomi biru dan memutuskan, berdasarkan prioritas dan keadaannya sendiri, mana yang harus diprioritaskan.

 mewujudkan potensi besar dari ekonomi biru yang membutuhkan inklusi dan partisipasi aktif semua kelompok masyarakat, terutama perempuan, kaum muda, komunitas lokal, masyarakat adat, dan kelompok yang terpinggirkan atau kurang terwakili secara efektif.

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengeluarkan "The Blue Growth Initiative" untuk membantu negara-negara dalam mengembangkan dan menerapkan ekonomi biru dan agenda pertumbuhan dengan:

Menghilangkan praktik penangkapan dari sumber daya ikan yang berbahaya dan penangkapan dari sumber daya ikan yang berlebihan dan sebaliknya memberi insentif pada pendekatan yang mendorong pertumbuhan, meningkatkan konservasi, membangun perikanan yang memiliki nilai berkelanjutan, dan mengakhiri penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak ada laporan, dan tidak memiliki aturan yang mengikat

Memastikan langkah-langkah dibuat khusus yang mendorong kerja sama antar negara

Bertindak sebagai katalis untuk pengembangan kebijakan, investasi, dan adanya pembaharuan dalam program yang melakukan pendukungan terhadap ketahanan pangan, meminimalisir jumlah orang miskin, dan pengelolaan sumber daya perairan yang memiliki nilai berkelanjutan.

Program-program ini kemudian menjadi agenda dan kebijakan di tingkat internasional untuk mengimplementasikan skema ekonomi biru. Dengan menerapkan kerangka pengembangan Ekonomi Biru, Indonesia dapat menciptakan model pengembangan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, serta mengatasi tantangan perekonomian yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, M. (2022). Potensi dan Tantangan Blue Economy dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Kajian Literatur. Jurnal Budget, 7(2), 340-363.

Siahaan, G. J. S. H., & Widiatedja, I. G. N. P. (2023). Skema Ekonomi Biru dalam United Nations Convention on the Law of the Sea dan Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan di Indonesia. Jurnal Kertha Desa, 11(3), 2051-2061.

Wahyuddin, Y. A., Hidayat, R. M., & Verdiansyah, T. (2022). Strategi Kebijakan Blue Economy Indonesia dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan pada Era Jokowi-Dodo. Sriwijaya Journal of International Relations, 2(2), 70-87.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun