Indonesia memiliki sektor perikanan terbesar kedua di dunia dengan nilai sekitar USD27 miliar terhadap PDB dan menyediakan 7 juta pekerjaan dan lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani negara (World Bank, 2021). Indonesia memiliki keragaman komoditas perikanan, baik perikanan tangkap, maupun budidaya. Lima besar ikan yang ditangkap adalah tongkol, layang, cakalang, cumi-cumi, dan tuna. Sentra produksi perikanan tangkap banyak terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara memberikan kontribusi nilai tambah terbesar pada perikanan tangkap. Sementara itu, akuakultur/perikanan budidaya berkelanjutan di Indonesia dapat diperluas dengan memprioritaskan spesies tingkat trofik rendah, termasuk rumput laut. Lima besar produk perikanan budidaya Indonesia tahun 2015 hingga 2020 adalah komoditas rumput laut, nila, lele, udang, dan bandeng. Sentra utama rumput laut adalah Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah. Sentra produksi ikan nila adalah Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Nilai ekspor perikanan tahun 2020 mencapai USD5,2 miliar dengan komoditas utama ikan cakalang, udang, dan rumput laut.
2. Â Manufaktur dan Konstruksi Kelautan.
Struktur laut meliputi anjungan lepas pantai, kabel dan pipa bawah laut, kendaraan wisata, pelabuhan kargo, pelabuhan utama, reklamasi, dan penambangan pasir. Salah satu jenis bangunan laut yang dibangun di lepas pantai adalah anjungan minyak dan gas lepas pantai (AMLP), yaitu struktur atau bangunan yang dibangun di lepas pantai untuk mendukung proses eksplorasi atau eksploitasi minyak dan gas. Saat ini terdapat lebih dari 600 AMLP yang tersebar di perairan Indonesia seperti di Laut Utara Jawa, Sumatera, Natuna, dan Jawa Timur. Sebagian besar AMLP ini dibangun sekitar tahun 1970-an hingga awal 1990-an. Beberapa AMLP sedang (atau telah) memasuki akhir masa produksinya. Dalam peta jalan dekomisioning yang disusun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), terdapat sekitar 102 AMLP pasca produksi yang diusulkan untuk dibongkar atau digunakan kembali untuk sektor lain dalam waktu dekat. Sebagian besar AMLP ini berlokasi di wilayah Laut Jawa (Bappenas, 2021).
3. Minyak dan Gas
Turunnya produksi minyak dan gas bumi sebesar 20 persen dari tahun 2010 hingga 2019 membuat Indonesia menjadi net importir minyak, dan kemungkinan akan menjadi net importir gas bumi di masa depan (Agarwal et al., 2020). Indonesia masih berkutat dengan pengembangan energi terbarukan, dengan hanya 2 persen dari gabungan potensi sumber panas bumi, matahari, angin, air, dan biomassa, dan hanya 12 persen listrik dari energi terbarukan (Agarwal et al., 2020). Di sisi lain, kebutuhan energi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Sebagian besar kebutuhan energi total Indonesia berasal dari energi komersial dan mengandalkan penggunaan sumber energi konvensional seperti minyak dan gas. Total konsumsi energi final tahun 2018 sebesar 875 juta barel setara minyak, dimana pangsa konsumsinya masih didominasi oleh bahan bakar minyak (BRSDM KKP, 2021).
4. Industri Pengolahan Makanan Berbasis Kelautan
Industri pengolahan berbasis hasil perikanan telah lama berkembang di Indonesia, dengan pelaku industri terdiri dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan industri besar. Mayoritas industri pengolahan berada di wilayah Indonesia bagian barat, sedangkan bahan baku dipasok dari wilayah tengah dan timur (Bappenas, 2021). Produk ikan olahan utama terdiri dari tuna segar, tuna beku, tuna kaleng, udang, dan ikan kayu dengan bahan baku sebagian besar ikan cakalang. Sumber lain untuk industri pengolahan makanan berasal dari rumput laut dan ganggang yang dapat diolah dan diaplikasikan pada produk makanan seperti makanan beku, dessert, permen, jus buah, dll. Pada tahun 2017, sebagian besar pengolahan ikan dan pengalengan tuna di Indonesia didominasi oleh UMKM (98,2 persen). Kondisi ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang rendah. Pertumbuhan unit pengolahan ikan di Indonesia relatif rendah yaitu hanya 0,5 persen untuk UMKM dan 2 persen untuk industri besar. Pertumbuhan yang rendah tersebut mungkin terkait dengan fakta bahwa margin ekonomi untuk produk ikan olahan seringkali lebih tinggi dalam pengolahan sederhana (pembekuan, segar, dan sashimi) dibandingkan produk olahan lebih lanjut. Pada tahun 2019, nilai tambah industri pengolahan berbasis kelautan besar dan sedang adalah Rp29,96 triliun (BPS, 2022). Lebih sedikit nelayan juga terlibat dalam kegiatan pengolahan ikan karena pasar yang lebih terbatas untuk produk olahan dibandingkan dengan produk olahan segar dan sederhana. Pada tahun 2018, lebih dari 1 juta pekerja terlibat dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan (Bappenas, 2021).
5. Industri Bahan Kimia Berbasis Laut
Sedimen mikroorganisme, tumbuhan mati, dan hewan di dasar laut menyediakan sumber minyak bumi dan gas alam. Industri petrokimia menggunakan senyawa hidrokarbon dari minyak bumi dan gas alam sebagai bahan baku dasarnya. Industri petrokimia merupakan subsektor dari industri petrokimia, kimia, dan barang dari karet. Dari 2009 hingga 2013, industri petrokimia tumbuh 4,6 persen per tahun. Pada tahun 2013, subsektor ini menghasilkan 12,21 persen dari total PDB sektor industri nonmigas. Industri petrokimia terbesar terletak di Cilegon. Berdasarkan kajian Kementerian Perindustrian dan Sucofindo, migas memiliki cadangan masing-masing sebesar 7.534,90 MMSTB dan 142,72 TSCF. Terletak di Sulawesi, Maluku, Papua, Kalimantan, dan Sumatera (Bappenas, 2021).
6.Perdagangan, Transportasi, dan Logistik
Secara global, transportasi laut menyediakan moda utama untuk memfasilitasi pengiriman berbagai jenis barang dan penumpang. Pada tahun 2018, lebih dari 95 persen ekspor global Indonesia, dalam hal nilai, diangkut melalui laut. Angka ini lebih tinggi lagi jika kita menggunakan trade-in volume terms, dimana hanya 0,03 persen ekspor Indonesia yang dikirim bukan melalui angkutan laut. Angka tersebut dapat diprediksi karena keunggulan komparatif Indonesia masih berupa sumber daya alam dan produk-produk besar yang hanya dapat dikirim melalui transportasi laut (Bappenas, 2021). Sementara itu, aktivitas angkutan penumpang laut juga meningkat. Statistik Indonesia 2020 melaporkan bahan dibandingkan dengan tahun 2018, jumlah penumpang kapal pada tahun 2019 untuk penumpang yang berangkat dan turun naik masing-masing sebesar 10,71 persen dan 11,37 persen (Bappenas, 2021). Sektor pengangkutan dan pergudangan menyumbang sekitar USD63,4 miliar bagi perekonomian Indonesia, terhitung 5,57 persen dari PDB-nya pada tahun 2019. Menariknya, dalam (BPS, 2022) meskipun Indonesia adalah negara kepulauan, transportasi laut hanya menyumbang 0,32 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2019, sedangkan sektor pangsa terbesar adalah angkutan darat (2,47 persen) dan angkutan udara (1,63 persen). Namun, pada tahun 2020, akibat pandemi, kontraksi pertumbuhan ekonomi angkutan laut relatif lebih kecil, yakni sebesar 4,57 persen, dibandingkan seluruh sektor angkutan yang mengalami kontraksi sebesar 15,04 persen. Dari segi nilai tambah, pelayaran laut Indonesia menyumbang 1,3 persen kegiatan ekonomi kelautan pada tahun 2013. Berdasarkan data nilai tambah bruto/gross value added dari OECD, Indonesia juga menghasilkan nilai tambah terbesar dari angkutan laut (USD2,6 miliar, atau 8,0 persen dari harga konstan 2010) dan angkutan penumpang laut (USD2,2 miliar, atau 7,0 persen) dibandingkan dengan negara-negara ASEAN pada tahun 2015.