Mohon tunggu...
Musmarwan Abdullah
Musmarwan Abdullah Mohon Tunggu... -

Orang yang percaya bahwa menulis mampu menguak tabir misteri yang terbenam di kedalaman samudera pikiran diri-sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dealova

25 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dealova adalah sebuab lagu. Ciptaan Opick. Dinyanyikan oleh Once. Diorbitkan pada tahun 2005. Sekarang adalah tahun 2014. Berarti sudah sembilan tahun usia lagu itu. Dari awal terbitnya aku sudah menyukai lagu tersebut. Namun beberapa tahun kemudian aku nyaris melupakannya akibat ditindih lagu-lagu keluaran terbaru. Hingga suatu ketika, tepatnya pada tahun 2010, suatu peristiwa dalam kehidupan rumah tanggaku mengingatkanku kembali pada Dealova.

Izinkan sejenak aku menyanyikan Dealova dengan segenap penghayatan walaupun tanpa iringan piano dan gitar. Izinkan.

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu; Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu; Karena, langkah merapuh tanpa dirimu; Karena hati telah letih…

“Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh; Aku ingin kau tahu bahwa kuselalu memujamu; Tanpamu, sepinya waktu merantai hati; Bayangmu seakan-akan…

“Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang; Memanggil rinduku padamu; Seperti udara yang kuhela kau selalu ada…

“Hanya dirimu yang bisa membuatku berarti; Tanpa dirimu aku merasa hilang; Dan sepi; Dan sepi….

Ketika Dealova belum sebermakna ini, suatu malam saat aku baru pulang dari seminggu kepergianku yang tak tentu arah isteriku mengacak pinggang di pintu, mengusir dengan binar nyalang di mata dan berseru dengan kata-kata bahwa diam-diam selama ini dia telah jatuh cinta pada seorang lelaki lain yang tinggal sekota dengan kami. Saat itu, tiba-tiba, segala kesemarakan kehidupan bagai tercerabut dari jiwaku. Aku bagai melepuh menjadi sesuatu yang sangat tidak berartidan bagai sesuatu yang terbuang. Dan, hancur.

Saat lelaki itu kudatangi, dia minta maaf karena selama ini mengira kami telah bercerai, dan, katanya, itu adalah pengakuan yang berkali-kali diutarakan isteriku di hadapannya. “Persisnya isteri Anda mengatakan bahwa kalian sedang dalam proses perceraian. Atas dasar itulah saya menerima perasaan cintanya pada saya. Pernah saya menolak karena merasa tidak berhak menerima cinta seorang yang belum resmi bercerai dengan suaminya, tapi dia tetap berkeras bahwa kalian akan bercerai secara resmi. Saat saya mengatakan untuk bersabar sampai perceraian benar-benar resmi, dia berkeras, bahkan dia nekad tak akan keluar dari rumah saya kalau saya belum mengatakan dengan yakin bahwa saya menerima cintanya.”

Kata orang, lelaki itu dulunya seorang gank yang disegani di sebuah kota perantauan. Ketika ditangkap dan masuk penjara, saat itulah isterinya lari dengan memboyong tiga anak mereka ke rumah orangtua si isteri. Keluar dari penjara dan kembali ke kota asalnya dia agak menutup diri dengan perempuan, mungkin masih sangat menyintai isterinya yang telah kawin lain saat dia lama di penjara. Kini dia kelihatan seperti lelaki yang tenang dan bijak, ditambah lagi dengan jenis usaha barunya sebagai penampung hasil-hasil bumi yang membuat ia acap berhubungan dengan segala lapisan masyarakat. Mungkin isteriku memang terobsesi dengan lelaki yang berkarakter seperti itu.

Ketika ketahuan bahwa aku telah menjumpai lelaki itu, isteriku sangat merasa bersalah pada lelaki tersebut. Dan dia selalu mencari-cari kesempatan tiap aku tak ada di rumah untuk menjumpai si lelaki. Dia terus menelepon atau mengirim SMS untuk mengatakan bahwa ia tetap cinta pada lelaki itu, dan dia berjanji akan melakukan sesuatu agar perceraian antara kami benar-benar terjadi. Setidak-tidaknya begitu yang dapat kusimpulkan dari satu-dua SMS yang kupergoki tanpa sengaja; atau mungkin yang sengaja dia biarkan aku membacanya.

Dealova, dalam kondisi tertentu lagu ini justru amat menyedihkan, terutama saat sang lagu tersisa sebagai satu-satunya harapan untuk mengembalikan keutuhan cinta seorang isteri, saat di mana pada waktu yang sama kau justru acap diberitahukan oleh bukti bahwa sekejap saja kau tidak di rumah, sang isteri henti-tak henti mengirim SMS kepada seorang lelaki lain. Lalu kau pun bertanya dengan putus asa, apa mungkin Dealova bisa sekeramat do’a.

Lelaki itu kelihatan tegar sekali meski sedikit shock ketika mengetahui aku sudah kembali lagi ke isteriku, karena menurut isteriku padanya aku sudah pergi jauh dan tak mungkin kembali lagi; kalau pun kembali, itu hanya untuk membereskan perceraian kami.

Namun begitu dia tetap menjalani keseharian dengan penuh percaya diri. Sebagai seorang duda yang sudah lama ditinggal pergi isterinya, kurasa dia sangat bangga mendapat cinta seperti cinta yang diberikan isteriku.

Aku masih dapat membayangkan saat-saat sebelum semuanya menjadi begini. Hingga saat itu usia kebangkrutanku sudah berjalan tiga tahun. Selama itu aku sering berpergian, baik karena dikejar hutang maupun karena keresahan akibat kebangkrutan itu sendiri. Saat itulah cintanya diam-diam berpaling ke hati yang lain.

Katanya, dia muak hidup dengan lelaki miskin.

“Padahal orang lain juga banyak yang hidup miskin seperti kita.”

“Tidak ada cerita.”

“Padahal tetangga kita dulunya juga pernah bangkrut seperti kita, tapi mereka bersabar, dan, lihatlah, sekarang mereka sudah berjaya lagi.”

“Berhenti saja mencari-cari perbandingan.”

“Kenapa tidak berusaha untuk bersabar beberapa saat lagi, mitra-mitra usahaku dulu mulai menaruh perhatian. Kelak berkat bantuan mereka aku akan bisa bangkit lagi.”

“Sudah, sudah!”

Seandainya masih ada barang yang bisa kujual, mungkin situasi tidak segalau ini. Mobil sebagai barang berharga terakhir sudah kujual beberapa bulan lalu, sebagian hasilnya untuk melunasi hutang, sebagian lagi untuk keperluan kehidupan rumahtangga kami.

Kini yang tersisa cuma piano. Mahal memang, tapi walapun dijual murah, siapa yang mau beli piano di kota kabupaten pedalaman ini. Dan karena piano itu masih ada, aku acap memainkan Dealova dengan piano—juga dengan gitar akustik hadiahnya di ulang tahun perkawinan kami yang pertama dulu.

Tentang Dealova, ah, aku merasa lagu ini seakan-akan khusus diciptakan untukku, terutama saat aku tak tahu lagi apa kira-kira yang harus kulakukan agar isteriku benar-benar tak lagi memikirkan lelaki itu, atau tepatnya agar dia benar-benar tersentuh hatinya untuk mencintaiku lagi seperti masa-masa awal perkawinan kami.

Pada suatu malam yang lain, aku lagi-lagi memainkan Dealova dengan gitar di tepi pembaringan kami. Dia hanya terlentang di sisi ranjang dengan mata menerawang. Malam itu kuulang Dealova sampai tiga kali dengan suaraku yang kian sengau. Tapi itu adalah ikhtiar terakhirku untuk mengembalikan hatinya yang terbelah. Betapa aku sangat mengharapkan agar Dealova mampu untuk itu.

Namun akhirnya yang kutahu, ternyata semua telah terlambat. Dia sudah terlalu jauh jatuh dalam pelukan lelaki itu. Dan malam itu aku benar-benar diminta pergi dan jangan sampai kembali lagi. Ya, malam itu aku benar-benar harus pergi.

Aku pergi juga akhirnya. Dalam kepergian itu aku memang tidak bisa memikul ranjang dan piano. Tapi aku masih bisa memikul rangsel di punggung, gitar di bahu, dan Dealova di hati.

Kini waktu sudah berlalu beberapa pergantian musim. Aku sudah memulai usaha yang baru di perantauan yang jauh. Namun aku hampir tak ingat seberapa lama sebenarnya aku sudah berada di rantau orang, hingga suatu hari telepon genggsamku menerima sebuah pesan yang panjang.

“Bang Din,” tulis pesan itu, “kau telah menapak dari rumah ini. Tanpa jejak. Nomor ini kudapat dari seseorang setelah aku bergerilya berminggu-minggu dari seorang ke seorang temanmu di kampung. Aku tidak tahu seberapa sudah jauh kita. Yang bisa kuhitung hanya waktu. Tiga tahun. Yaitu sejak lambaianmu yang terakhir di malam dingin, hujan dan berpetir itu. Kau pergi bersama rangser yang di dalamnya berisi buku-buku dan pakaian kotor, juga gitar kita.

“Kini yang bisa kuraba cuma kenangan, yang pernah kita patri bersama selama lima tahun. Di kamar depan.

“Aku tahu, betapa berat langkahmu kala itu. Aku tahu, engkau pergi dalam kesedihan tatkala rahasia itu kuungkapkan padamu, bahwa hatiku telah berpindah ke lelaki lain.

“Aku tahu, engkau sangat hancur kala itu. Dan ini baru kuhayati tatkala pengkhianatan yang kulakukan padamu, kini menimpa atasku. Aku tak pernah percaya sebelumnya bahwa Tuhan seadil ini.”

Dari pesan panjang itu aku mencoba mencari info dari salah seorang kawan yang tinggal selingkungan dengan mantan isteriku. Rupanya mantan isteri lelaki itu akhirnya bercerai dengan suami keduanya dan mereka kembali membina rumah tangga mereka bagai dulu. Mantan isteriku kini berstatus sebagai isteri kedua dari lelaki itu.

Di akhir pesan yang agak panjang dari mantan isteriku, dia juga mengaku, bahwa diam-diam—saat dia sendirian di ranjang kami dulu—dia sering menyanyikan Dealova untukku.

Sedih memang membaca pesannya. Tapi sudahlah. Di kota rantau ini, walau dulu aku pergi dengan hati yang teramat hancur, kini sektidak-tidaknya aku harus bersyukur bahwa aku masih bisa bernyanyi. Dealova. Meski bukan lagi untuknya.*** (Kembang Tanjong, Januari 2014)

Catatan: *Lirik lagu Dealova, by: Opick

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun