Mohon tunggu...
Musmarwan Abdullah
Musmarwan Abdullah Mohon Tunggu... -

Orang yang percaya bahwa menulis mampu menguak tabir misteri yang terbenam di kedalaman samudera pikiran diri-sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dealova

25 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seandainya masih ada barang yang bisa kujual, mungkin situasi tidak segalau ini. Mobil sebagai barang berharga terakhir sudah kujual beberapa bulan lalu, sebagian hasilnya untuk melunasi hutang, sebagian lagi untuk keperluan kehidupan rumahtangga kami.

Kini yang tersisa cuma piano. Mahal memang, tapi walapun dijual murah, siapa yang mau beli piano di kota kabupaten pedalaman ini. Dan karena piano itu masih ada, aku acap memainkan Dealova dengan piano—juga dengan gitar akustik hadiahnya di ulang tahun perkawinan kami yang pertama dulu.

Tentang Dealova, ah, aku merasa lagu ini seakan-akan khusus diciptakan untukku, terutama saat aku tak tahu lagi apa kira-kira yang harus kulakukan agar isteriku benar-benar tak lagi memikirkan lelaki itu, atau tepatnya agar dia benar-benar tersentuh hatinya untuk mencintaiku lagi seperti masa-masa awal perkawinan kami.

Pada suatu malam yang lain, aku lagi-lagi memainkan Dealova dengan gitar di tepi pembaringan kami. Dia hanya terlentang di sisi ranjang dengan mata menerawang. Malam itu kuulang Dealova sampai tiga kali dengan suaraku yang kian sengau. Tapi itu adalah ikhtiar terakhirku untuk mengembalikan hatinya yang terbelah. Betapa aku sangat mengharapkan agar Dealova mampu untuk itu.

Namun akhirnya yang kutahu, ternyata semua telah terlambat. Dia sudah terlalu jauh jatuh dalam pelukan lelaki itu. Dan malam itu aku benar-benar diminta pergi dan jangan sampai kembali lagi. Ya, malam itu aku benar-benar harus pergi.

Aku pergi juga akhirnya. Dalam kepergian itu aku memang tidak bisa memikul ranjang dan piano. Tapi aku masih bisa memikul rangsel di punggung, gitar di bahu, dan Dealova di hati.

Kini waktu sudah berlalu beberapa pergantian musim. Aku sudah memulai usaha yang baru di perantauan yang jauh. Namun aku hampir tak ingat seberapa lama sebenarnya aku sudah berada di rantau orang, hingga suatu hari telepon genggsamku menerima sebuah pesan yang panjang.

“Bang Din,” tulis pesan itu, “kau telah menapak dari rumah ini. Tanpa jejak. Nomor ini kudapat dari seseorang setelah aku bergerilya berminggu-minggu dari seorang ke seorang temanmu di kampung. Aku tidak tahu seberapa sudah jauh kita. Yang bisa kuhitung hanya waktu. Tiga tahun. Yaitu sejak lambaianmu yang terakhir di malam dingin, hujan dan berpetir itu. Kau pergi bersama rangser yang di dalamnya berisi buku-buku dan pakaian kotor, juga gitar kita.

“Kini yang bisa kuraba cuma kenangan, yang pernah kita patri bersama selama lima tahun. Di kamar depan.

“Aku tahu, betapa berat langkahmu kala itu. Aku tahu, engkau pergi dalam kesedihan tatkala rahasia itu kuungkapkan padamu, bahwa hatiku telah berpindah ke lelaki lain.

“Aku tahu, engkau sangat hancur kala itu. Dan ini baru kuhayati tatkala pengkhianatan yang kulakukan padamu, kini menimpa atasku. Aku tak pernah percaya sebelumnya bahwa Tuhan seadil ini.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun