Mohon tunggu...
Musmarwan Abdullah
Musmarwan Abdullah Mohon Tunggu... -

Orang yang percaya bahwa menulis mampu menguak tabir misteri yang terbenam di kedalaman samudera pikiran diri-sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meutia di Hening Belantara

20 Februari 2014   23:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam perjalanan menelusuri Pantai Timur, setelah empat jam rodaku menggelinding di aspal yang basah, sebuah pesan pendek menelusup ke handphone.

"Pat posisi?" tanya Fachrul, koordinator liputan yang, "Sore-sore begini ia pasti sedang siaga di kantor redaksi," batinku sembari mengetik pesan balasan yang bunyinya, "Saya baru tiba di Geudong, Lhokseumawe."

Rupanya Fachrul langsung menelepon, "Tolong belok ke Matangkuli ya. Ke rumah Cut Meutia. Ambil beberapa foto dan sekelumit cerita dari situ."

"Aku akan ke makamnya sekalian," jawabku menantang.

"Gila! Sore begini, mana mungkin. Kamu pikir makam Cut Meutia itu di mana?"

"Di pucók Krueng Peutoe, di tengah rimba belantara, bukan?"

"Jadi mana mungkin sesore ini kamu ke sana?" ucap Fachrul dengan nada sedikit prihatin mengingat aku memang mereka bilang sebagai orang dengan gerakan yang kadang-kadang bikin was-was.

"Nanti malam saya akan menginap di rumah keuchik. Besok pagi akan saya minta bantu satu-dua lelaki untuk menemani saya ke hutan kasak-kaséék itu."

"Ok, thank's. Kamu memang wartawan gila," seloroh Fachrul, tentu dengan hati ringan.

"Kamu juga 'korlip' pungo!" balasku.

Setelah singgah sekejap di warung kopi keudee Matangkuli menunggu hujan benar-benar reda di sore itu, roda sepedamotorku menggelinding lagi menelusuri jalan desa yang beraspal licin, jalan yang tentu dibangun oleh perusahaan pengeboran minyak yang sudah puluhan tahun menyedot cairan berharga dari perut bumi kawasan ini.

Tiba di tepian desa Mesjid Pirak yang berbatasan dengan areal persawahan, aku dihadang lingkaran persegi-empat bangunan pagar beton bermotif bambu runcing bercat warna kuning.

Ada rumah Aceh di tengah-tengah areal berumput itu. Halaman depannya ditata berdasarkan dekorasi taman bergaya modern dengan bunga-bunga yang ditanam khusus mengikuti tataletak pertamanan. Dua buah króng padèè yang besar di atas dua balai-balai terletak tak jauh dari bangunan utama. Di haluan paling kanan halaman, di situ tonggak monumen terpancang dengan ukiran gambar seorang perempuan menghunus pedang dan galangan meriam beroda dua disertai tegak berdiri seorang serdadu di sampingnya, serdadu kompeni Belanda.

Di sisi lain monumen, dengan nanap kubaca ukiran prasasti itu: "Cut Meutia Pahlawan Nasional Wanita, lahir tahun 1870. Anak T. Ben Daud/Cut Chadijah. Beliau seorang yang taat dan patuh kepada orang tuanya serta berjiwa pahlawan. Suami pertamanya Syam Syarif dengan gelar T. Syik Bentara yang tiada lama bercerai karena tidak seperinsip. Kemudian kawin dengan adik iparnya T. Syik Di Tunong yang tidak senang terhadap Belanda. Putra beliau T. Raja Sabi, meninggal tahun 1946. Setelah T. Syik Di Tunong dihukum tembak, Cut Meutia kawin dengan Pang Nanggroe sesuai dengan wasiat suaminya T. Syik Di Tunong. Cut Meutia gugur dan dimakamkan tanggal 25 Oktober 1910 di Pucòk Krueng Peutoe dalam pertempuran dengan Belanda yang dipimpin oleh Mosselman."

Di atas pertapakan tanah yang yang luas ini pada awalnya hanya ada sebuah rumah biasa (rumoh santeut) sebagai rumah asli tempat Cut Meutia lahir dan dibesarkan. Namun sejalan dengan waktu yang berlalu, rumah panggung berkonstruksi kayu itu reot dimakan usia. Maka suatu ketika di tahun lapanpuluh, Jakarta mendanai pembangunan rumah ini menjadi rumah adat yang besar sebagai monumen.

"Semua yang pada hari ini dapat ditatap di sini, bukanlah wujud baru dari sebuah keaslian lama," tulisku di buku catatan kecil yang sudah agak basah. "Megah memang kelihatannya. Tapi tidak demikian azalinya. Sebuah lukisan yang terpancang di dinding dalam rumah adat itu, yang dinisbatkan sebagai Sang Pahlawan, itu pun konon dilukis berdasarkan model seorang bintang film di Jakarta."

Di antara beberapa bangunan pendukung yang semuanya bernuansa tradisi, barangkali mata para peziarah terus mencari-cari di manakah letaknya sesuatu yang paling sakral di antara semuanya.

Makam sang pahlawan.

Di mana?

Untuk yang paling subtansial ini para peziarah justru harus terlebih dahulu menempuh belasan kilometer dari rumah monumen menuju ke persimpangan sebuah perusahaan perkebunan yang dapat ditempuh dengan kendaraan. Dari sinilah pencapaian harus ditempuh lagi dengan perjalanan kaki selama sepuluh jam melewati hutan lebat berbukitan hingga bisa mencapai peraduan terakhir wanita perang tanah indatu.

Segera terbersit sekelumit perasaan ironi manakala mataku untuk pertama sekali menatap apa yang menjadi kerinduan banyak aneuk nanggroe namun tak bisa memenuhinya dari waktu ke waktu karena memang letaknya di tengah keazalian alam yang liar. Sebuah rombongan peziarah butuh koordinasi dengan berbagai perangkat pemerintah dan pihak lokal untuk tiba di lokasi ini dengan tenteram dan terpantau. Sementara, negeri ini puluhan tahun dalam panggangan bara peperangan.

Di tengah semak belantara, di antara pohon-pohon seurapòh yang tumbuh liar, terdapatlah seonggokan tanah yang samasekali tidak memiliki kekhususan apa-apa sebagai sebuah makam seorang pahlawan, Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Onggokan tanah itu pun ada semata-semata karena kamue, serangga sejenis laron, membuat sarangnya di situ.

"Rol, seandainya kau ada di antara kami, banyak kata yang akan kau kicaukan melihat kenyataan ini," ketikku di halaman SMS yang tak terkirimkan kepada Fachrul karena di tengah rimba ini memang tak ada signal.

Konon menurut orang-orang tua di desa Mesjid Pirak, kamue sengaja membuat sarangnya di sini agar makam Cut Meutia, sebagai hamba mulia yang syahid melawan penjajah, tetap dapat ditandai walau anak bangsa ini sendiri tak mau perduli.

Dua malam setelah itu, melalui kantor biro cabang Langsa, aku mengirim berita dan foto makam itu ke redaksi pusat di Banda Aceh. Segera setelah itu Fachrul mengirim pesan pendek ke Hp-ku. Bunyinya, "Serangga saja respek pada jasa pahlawan, ya."

Keesokan paginya, di sebuah warung kopi di sisi perempatan tengah kota Kuala Simpang, aku melihat berita yang ku-emailkan tadi malam itu dimuat beserta foto monumen. Segera kugencet nomor Fachrul di talipun genggamku.

"Kok gambar monumen yang dimuat? Kenapa bukan gambar makamnya, Rol?"

"Kebijakan Pak Pimpinan. Bukan salahku, kawan," jawab koordinator liputan itu dengan nada minta maaf.

"Ada apa rupanya dengan orang tua bau tanah itu?" tanyaku kesal.

"Kata beliau, kalau foto makam yang dimuat, itu sama artinya dengan mencoreng arang di muka sendiri. Bikin malu bangsa besar ini, ehm…"

"Alaaaaah hai mak beuh. Orang tua cengeng. Status quo tok-tok itu kakek. Well, baiklah. Mari heningcipta, semoga dia cepat berlalu ke negeri lain agar kita segera punya kesempatan untuk membongkar semua aib generasi lama negeri ini."

Demikian kukutuk pimpinan redaksi kami itu seraya kugelindingkan kembali sepedamotor hitam besarku menuju Sumatera Utara untuk kembali lagi ke Aceh lewat rute Pantai Barat-Selatan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun