"Rol, seandainya kau ada di antara kami, banyak kata yang akan kau kicaukan melihat kenyataan ini," ketikku di halaman SMS yang tak terkirimkan kepada Fachrul karena di tengah rimba ini memang tak ada signal.
Konon menurut orang-orang tua di desa Mesjid Pirak, kamue sengaja membuat sarangnya di sini agar makam Cut Meutia, sebagai hamba mulia yang syahid melawan penjajah, tetap dapat ditandai walau anak bangsa ini sendiri tak mau perduli.
Dua malam setelah itu, melalui kantor biro cabang Langsa, aku mengirim berita dan foto makam itu ke redaksi pusat di Banda Aceh. Segera setelah itu Fachrul mengirim pesan pendek ke Hp-ku. Bunyinya, "Serangga saja respek pada jasa pahlawan, ya."
Keesokan paginya, di sebuah warung kopi di sisi perempatan tengah kota Kuala Simpang, aku melihat berita yang ku-emailkan tadi malam itu dimuat beserta foto monumen. Segera kugencet nomor Fachrul di talipun genggamku.
"Kok gambar monumen yang dimuat? Kenapa bukan gambar makamnya, Rol?"
"Kebijakan Pak Pimpinan. Bukan salahku, kawan," jawab koordinator liputan itu dengan nada minta maaf.
"Ada apa rupanya dengan orang tua bau tanah itu?" tanyaku kesal.
"Kata beliau, kalau foto makam yang dimuat, itu sama artinya dengan mencoreng arang di muka sendiri. Bikin malu bangsa besar ini, ehm…"
"Alaaaaah hai mak beuh. Orang tua cengeng. Status quo tok-tok itu kakek. Well, baiklah. Mari heningcipta, semoga dia cepat berlalu ke negeri lain agar kita segera punya kesempatan untuk membongkar semua aib generasi lama negeri ini."
Demikian kukutuk pimpinan redaksi kami itu seraya kugelindingkan kembali sepedamotor hitam besarku menuju Sumatera Utara untuk kembali lagi ke Aceh lewat rute Pantai Barat-Selatan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H