Politik di negeri ini seringkali lebih menyerupai panggung drama yang penuh ironi daripada arena gagasan. Di satu sisi, para politisi berlomba-lomba meraih simpati dari rakyat miskin, menyusup ke gang-gang sempit dan desa-desa terpencil untuk mengumbar janji manis. Namun, di sisi lain, mereka tidak segan-segan mengetuk pintu para pemodal kaya raya untuk mencari dana kampanye, yang hampir selalu disertai dengan "balas budi" di masa depan. Fenomena ini mencerminkan wajah politik kita yang pragmatis, kadang kala tanpa etika, dan seringkali jauh dari nilai-nilai ideal demokrasi.
Politik Populis dan Eksploitasi Orang Miskin
Dalam setiap musim pemilu, kita menyaksikan pemandangan yang hampir seragam: politisi turun ke lapangan, menampilkan citra sederhana, dan menjanjikan perubahan hidup yang lebih baik bagi rakyat kecil. Mereka berbaur dengan pedagang pasar, menunggangi becak, hingga duduk di tikar lusuh sambil menyantap makanan seadanya bersama penduduk miskin. Semua ini dilakukan demi satu tujuan: mendapatkan suara.
Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa kunjungan singkat ini jarang sekali berlanjut menjadi solusi konkret. Setelah pemilu usai, para politisi tersebut kerap menghilang dari radar, meninggalkan rakyat miskin yang kembali bergelut dengan kehidupan berat mereka. Yang lebih menyakitkan, kemiskinan sering kali bukan hanya dibiarkan, tetapi juga dieksploitasi sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Janji-janji seperti bantuan sosial, program kesejahteraan, atau pembangunan infrastruktur sering kali lebih bertujuan untuk membeli loyalitas politik daripada mengentaskan kemiskinan secara struktural. Dalam banyak kasus, program-program ini tidak dirancang untuk memberdayakan, melainkan untuk membuat masyarakat tetap bergantung pada bantuan pemerintah. Dengan begitu, suara rakyat miskin dapat terus dijadikan "komoditas" politik.
Modal Kampanye: Memanfaatkan Orang Kaya
Di sisi lain, kampanye politik membutuhkan biaya besar. Iklan di televisi, baliho yang menghiasi jalan raya, hingga aktivitas konsolidasi di lapangan tidak mungkin terlaksana tanpa dana. Untuk itu, politisi beralih kepada para pemodal kaya, yang biasanya adalah pengusaha besar dengan kepentingan tertentu.
Transaksi yang terjadi di balik layar ini jarang bersifat murni filantropis. Para pemodal tentu mengharapkan imbalan, entah dalam bentuk kemudahan perizinan, kontrak proyek, hingga kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Akibatnya, kepentingan rakyat sering kali tersisih oleh prioritas pemodal. Alih-alih memperjuangkan kebijakan yang pro-rakyat, banyak politisi justru lebih sibuk melayani "tuan-tuan" mereka yang ada di balik layar.
Ketergantungan ini menciptakan lingkaran setan korupsi yang sulit diputus. Untuk memenuhi komitmen kepada para pemodal, banyak politisi yang akhirnya menyalahgunakan kekuasaan. Bahkan, korupsi sering dimulai sejak masa kampanye, ketika dana sumbangan tidak tercatat secara transparan, dan dilanjutkan setelah terpilih dengan praktik-praktik seperti jual beli jabatan atau penggelembungan anggaran proyek.
Ironi Demokrasi: Suara Rakyat, Kepentingan Elit
Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi kita sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Meski rakyat memiliki hak untuk memilih, pilihan mereka sering kali tidak didasarkan pada informasi yang cukup atau kebijakan yang realistis, melainkan pada janji-janji palsu dan pencitraan. Di sisi lain, kebijakan yang diambil setelah pemilu hampir selalu lebih mengutamakan kepentingan segelintir elit ekonomi.
Sistem seperti ini pada akhirnya mengkhianati semangat demokrasi itu sendiri. Demokrasi sejatinya adalah sistem yang menjamin partisipasi, keadilan, dan kesetaraan. Namun, ketika politik menjadi arena barter suara dengan janji palsu dan kebijakan dengan modal, maka demokrasi berubah menjadi alat pelestarian oligarki.
Apa Solusinya?
Untuk mengubah arah politik kita, diperlukan perubahan mendasar dalam cara berpolitik dan bernegara. Pertama, perlu ada penegakan hukum yang tegas terhadap praktik politik uang, baik yang dilakukan oleh politisi maupun oleh para pemodal. Kedua, edukasi politik kepada masyarakat harus ditingkatkan, sehingga rakyat dapat memilih berdasarkan program dan gagasan, bukan sekadar janji manis atau uang tunai.
Ketiga, pembiayaan partai politik harus lebih transparan dan diawasi dengan ketat. Negara dapat berperan lebih besar dalam memberikan subsidi kepada partai politik, dengan syarat ada audit berkala yang ketat. Dengan begitu, ketergantungan kepada pemodal dapat dikurangi.
Akhirnya, perlu ada keberanian dari para pemimpin politik untuk mengembalikan politik ke jalurnya sebagai alat perjuangan demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Tanpa itu semua, politik kita akan terus menjadi ajang pencitraan dan eksploitasi, sementara rakyat kecil tetap menderita dan segelintir orang kaya terus berkuasa.
Kesimpulan
Politik yang hanya mencari suara di orang miskin dan dana di orang kaya adalah wajah buram demokrasi kita. Ini bukan sekadar masalah moral, tetapi ancaman serius terhadap masa depan bangsa. Kita membutuhkan perubahan besar, bukan hanya di level kebijakan, tetapi juga dalam cara kita memandang dan menjalankan politik. Jika tidak, politik akan tetap menjadi permainan elit, dan rakyat kecil hanya menjadi penonton yang sesekali diberi "permen" janji manis.
Pemerhati PolitikÂ
Ahd Zulfikri Nasution
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H