Pemerintah telah mengeluarkan keputusannya terkait penanganan  virus Covid-19. Berbeda dengan kebijakan negara-negara lain yang juga terdampak Covid-19 yang menerapkan kebijakan lockdown, Jokowi memilih menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kebijakan ini telah berlaku di beberapa wilayah, salah satunya di  jawa barat yaitu di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi, berlaku pada Selasa (15/4/2020) pukul 00.00 WIB.
Menindak lanjuti kebijakan PSBB Â tersebut, pemerintah menyiapkan beberap jurus yaitu jurus jaring pengaman sosial (JPS) untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli.
Presiden juga berjanji akan menjaga dunia usaha, utamanya UMKM agar tetap mampu beroperasi dan menjaga penyerapan tenaga kerjanya.
Ada enam jurus JPS yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya menekan dampak COVID-19
Pertama, PKH jumlah penerima dari 9,2 juta jadi 10 juta keluarga penerima manfaat, besaran manfaatnya dinaikkan 25 persen. Misalnya ibu hamil naik dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp3 juta per tahun, disabilitas Rp2,4 juta per tahun, dan kebijakan ini efektif April 2020.
kedua, soal kartu sembako. Jumlah penerimanya akan dinaikkan menjadi 20 juta penerima manfaat dan nilainya naik 30 persen dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu dan akan diberikan selama sembilan bulan.
ketiga adalah kartu prakerja. Anggaran kartu prakerja dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun.
keempat, terkait tarif listrik untuk pelanggan listrik 450 Va yang jumlahnya sekitar 24 juta pelanggan akan digratiskan selama tiga bulan ke depan. Yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Sementara untuk pelanggan 900 Va yang jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan akan didiskon 50 persen. Mereka hanya membayar separuh untuk April, Mei, dan Juni 2020.
Kelima, untuk mengantisipasi kebutuhan pokok, pemerintah mencadangkan Rp 25 triliun untuk operasi pasar dan logistik.
Keenam, keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal, baik ojek daring, sopir taksi, UMKM, nelayan, dengan penghasilan harian dan kredit di bawah Rp 10 miliar.
Meski kebijakan telah diambil dan jaring pengaman pun telah disusun, namun banyak pihak menyangsikan kebijakan ini efektif. Bahkan tak sedikit yang memandang kebijakan ini adalah bentuk cuci tangan pemerintah dari mengurusi rakyatnya.
Enam jurus ini dikatakan pemerintah sebagai bentuk penyikapan dan peran pemeintah ditengah wabah covid-19, namun ternyata terkuak bahwasanya jurus yang dipamerkan pemerintah malah dinilai sebagai gimmick semata. Bahkan disebut juga sebagai pencitraan diri agar dinilai bertanggung jawab kepada rakyatnya.
Penilaian tersebut munculberdasarkan fakta yang dilihat dari  PKH yang disebut-sebut Jokowi naik 25 persen dengan total anggaran Rp37,4 triliun. Sebenarnya program ini tetap akan dijalankan tanpa ada wabah Covid-19. Merujuk pada Rancangan Pembangunan Nasional (RPJMN) 2019-2024 Kemensos memang sudah menaikkan anggaran untuk komponen ibu hamil dan anak usia dini.
Jumlah penerima manfaat juga telah dinaikkan menjadi 10 juta sesuai dengan Perpres Nomor 61 tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020. Jadi kenaikan itu sudah terjadi sebelum wabah Covid-19 melanda.
Berdasarkan laporan Kementerian Sosial 2018, Kemensos menganggarkan Rp17,5 triliun untuk 10 juta penerima manfaat. Pada 2019 nilainya naik sekitar 85 persen menjadi Rp32, 65 triliun. Wajar jika Bhima Yudhistira Adhinegara (ekonom INDEF) menyatakan bahwa program yang dipamerkan Jokowi itu hanya gimmick. Menurutnya, hal itu modifikasi kampanye dengan data yang masih berantakan. (tirto.id, 8/4/2020)
Selain data yang berantakan, program tidak bisa menyasar pekerja yang sebelum wabah Covid-19 masuk kelas menengah yang mungkin kini turun kelas menjadi miskin. Karena berdasarkan laporan Bank Dunia, 115 juta orang kelas menengah Indonesia yang masuk kelompok rentan miskin. Bahkan bisa jadi memang sudah miskin.
Ditambah lagi berbedanya penjelasan terkait semua data dari beberapa pejabat yang terkait. Itu semakin menambah keyakinan publik, bahwa negeri ini memang tidak beres dalam pengurusannya.
Begitu juga dengan program kartu sembako yang hanya 200 ribu per bulan dan ditujukan untuk hanya 20 juta penduduk miskin. Ini pun nyatanya bukan program baru. Hanya saja, sebelumnya dilakukan per tiga bulan, dan sekarang diubah menjadi tiap bulan.
Selain itu juga, program kartu pra kerja juga dinilai merupakan program yang tidak nyambung. Alih-alih disebut program-program bentukan pemerintah ini adalah langkah kebijakan pemerintah dalam menangani corona, dimana saat ini rakyat butuh jaminan, rakyat butuh makan, pemerintah sendiri justru menyuruh sebagaian dari rakyatnya untuk mengikuti pelatihan. Selain itu dari program ini apakah ada jaminan bahwasanya setelah mengikuti pelatihan dijamin mendapatkan pekerjaan? lantas apakah kuota pelatihn ini cukup untuk menampung ribuan rakyat yang membutihkan pekerjaan?
Adapun untuk program subsidi listrik, maka faktanya tidak semua pelanggan 450 V dan 900 V bisa menikmati apa yang digembar-gemborkan. Ditengah obral subsidi tarif listrik untuk warga miskin ini, ternyata para pelanggan listrik 1300 V ke atas, justru harus membayar lebih mahal dari biasanya. Itu pun tanpa pemberitahuan sama sekali.
Padahal faktanya, tak semua pelanggan pada golongan tersebut terkategori penduduk kaya. Karena banyak para pengguna yang memanfaatkan listrik untuk usaha kecil-kecilan di rumah.
Jurus yang dikeluarkan pemerintah dalam menghadapi pandemi covid-19 saat ini justru telah menunjukan kepada kita semua bahwasanya ketika hubungan yang terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya bukanlah hubungan kepengurusan, melainkan hubungan untung rugi dimana ini merupakan sikap dari sistem kapitalisme, maka kebijakan apapun yang dikeluarkan tetap saja bukanlah sebuah solusi yang didapatkan melainkan masalah baru, kekacauan dan kehidupan yang sempit yang dirasakan oleh msyarakat.
Allah SWT berfirman
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS Thaha: 124)
Sungguh kesempitan yang kini kita rasakan diakibatkan oleh berpalingnya penguasa dari aturan yang telah Allah tetapkan sebagai sang pencipta alam semesta ini.
Sudah sepatutnya kita menyerakan aturan kehidupan kita kepada aturan yang didalamnya tidak akan pernah menemukan kecacatan ataupun kerugian bagi masyarakatnya.
Itulah aturan Islam, dimana dalam Islam begitu rincinya mengatur segala aspek kehidupan manusia. Termasuk dalam menghadapi wabah seperti yang sedang kita hadapi saat ini. Dalam sistem Islam, pemerintah tampil memenuhi kebutuhan rakyat yang tak mungkin bekerja.
Dari mana dananya? Pertama dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat.
Kedua, dari harta milik negara baik fai', ghanimah, jizyah, 'usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat.
Ketiga, harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam, dan barang tambang. Jika semua itu belum cukup barulah negara boleh memungut pajak kepada laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Dengan semua itu, sistem Islam memiliki program pengaman sosial yang jitu dan terbukti ampuh memenuhi kebutuhan rakyatnya di tengah kondisi apa pun. Â
Tentu ditengah wabah saat ini kita membutuhkan pemimpin yang amanah, pemimipin yang mampu mengurusi rakyatnya, mewujudkan ketentraman dan kedamaian. Semua harapan kita akan terwujud apabila kita berada dalam sistem Islam dibawah naungan Khilafah.
Penulis: Listiyani (Ibu Rumah Tangga, Aktivis Komunitas Muslimah Rindu Surga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H