Mohon tunggu...
Muslihudin El Hasanudin
Muslihudin El Hasanudin Mohon Tunggu... jurnalis -

journalist and more

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aisy, Nani Handayani, dan Kitab Kuning

9 Desember 2017   13:15 Diperbarui: 9 Desember 2017   18:20 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zubaidah dan kedua temannya, kafilah dari Aceh (foto dindin)

Muhtadin menambahkan centang perenang persoalan negeri ini tidak lepas dari makin banyak bermunculannya orang pintar baru yang merasa tahu banyak hal tentang agama tetapi sebenarnya ia tidak banyak tahu. Orang-orang pintar baru ini cara mendapatkan ilmunya instan, tidak melalui proses panjang  seperti yang dilakukan para ulama. Karena pengetahuan dan wawasan keilmuannya terbatas, maka ia mudah menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya.

Gus Rozin Ketua Rabitah Ma'ahid Islamiyah (berbeci hitam) menjadi salah satu Dewan Hakim MQK (foto dindin)
Gus Rozin Ketua Rabitah Ma'ahid Islamiyah (berbeci hitam) menjadi salah satu Dewan Hakim MQK (foto dindin)
"Kitab kuning adalah khasanah yang luar biasa dalam tradisi pesantren yang menjadi rujukan berbagai persoalan. Orang yang membaca kitab kuning pasti akan memahami sebuah persoalan secara komprehensif, menyeluruh, tidak sepotong-potong. Kitab kuning itu kebanyakan memakai Bahasa Arab. Nah Bahasa Arab  itu seperi Bahasa Jawa, tidak mengenal sinonim. Setiap kata memiliki makna sendiri-sendiri. Salah satu huruf saja, maknanya bisa berbeda. Seperti itulah gambaran memahami kitab kuning. Semestinya kalau orang mau belajar islam ya harus belajar kitab kuning" ungkap Muhtadin.

Yang lebih penting lagi menurut Muhtadin, bahwa dengan MQK kita ingin menggugah kembali semangat tolabul 'ilmi yang semestinya menjadi kewajiban dasar manusia Indonesia.

"Orang mondok, belajar kitab kuning, itu kan bagian dari mencari ilmu. Mereka belajar dengan kesadaran penuh bahwa mencari ilmu itu sebuah kewajiban.  Meberantas kebodohan. Bukan karena nantinya bercita-cita jadi pendakwah, kiai, atau mubaligh yang akan mendapatkan keuntungan materi" tegas Muhtadin.

Spirit Kebhinekaan dalam MQK

MQK 2017 diikuti oleh 1.457 kafilah yang merupakan utusan dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Muzakir staff Kemenag Papua yang saya temui mengatakan bahwa dirinya sangat senang bisa mengikuti kegiatan ini. Pihaknya mengirim hanya mengirim 11 kafilah dalam MQK ini.

Para kafilah MQK menikmati sore di sekitar pondok (foto dindin)
Para kafilah MQK menikmati sore di sekitar pondok (foto dindin)
"Perkembangan islam di Papua sebenarnya menggembiarakan, secara populasi terus meningkat. Namun pondok pesatren di sana tidak seperti di Jawa, masih perlu banyak pembinaan agar kualitasnya sama seperti di daerah lain. Mohon doa restu rekan-rekan, agar kami bisa terus meningkatkan kualitas, bersama-sama menyemai Islam yang rahmatan lil alamin di ujung timur Indonesia" ujar Muzakir yang lahir di Wamena tersebut.

Setali tiga uang dengan Muzakir, Zubaidah santri salah satu pondok pesantren di Banda Aceh, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang saya temui juga sangat senang bisa berpartisipasi dalam kegiatan bergengsi ini. Menurutnya, selain sebagai ajang mengasah pengetahuan dan wawasan keagamaan, juga sebagai sarana mengenal Indonesia.

"Kami bersama 72 santri lain dari Aceh melakukan perjalanan panjang untuk sampai ke sini. Lelah, capek, tapi senang kok. Kita bisa berkumpul dengan banyak teman lain dari Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua, dan banyak lagi lainnya. Kami banyak bertukar pengalaman tentang daerah masing-masing. Seru pokoknya" ujar dara cantik ini. 

Foto keluarga Kompasiana Coverage MQK VI 2017 (foto dindin)
Foto keluarga Kompasiana Coverage MQK VI 2017 (foto dindin)
Kitab kuning di pesantren telah menjadi "penjaga tradisi" tafaqquh fi al-din yang telah berjalan berabad-abad. MQK adalah salah satu upaya Kemenag untuk merawat tradisi luhur ini. Melalui MQK  tidak hanya    santri saja yang termotivasi untuk meningkatkan kemampuan membaca dan memahami kitab kuning, lebih penting lagi terciptanya kesadaran masyarakat  untuk tolabul 'ilmi; memberantas kebodohan, sekaligus memperteguh  pentingnya khazanah 'ilmu' pesantren sebagai salah satu solusi untuk membangun bangsa dan menjawab problem-problem kemasyarakatan kekinian. Ah.. Andai saja Nani Handayani ikut MQK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun