Lain lubuk lain belalang, lain daerah lain penganan khasnya. Jika di Huangsan saya bisa mencicipi unik lezatnya chou dofu atau tahu busuk, di Hangzhou saya berkesempatan menikmati uniknya kuliner ayam pengemis.
Hangzhou Terletak di Provinsi Zhejiang,Tiongkok Timur sekira 179 km barat daya Shanghai. Hangzhou juga terkenal karena iklimnya yang sejuk, nyaman dan pemandangannya juga bagus. Konon ada pepatah Tiongkok yang menyatakan, Jika di atas adalah surga, maka di bawah adalah Hangzhou dan Suzhou. Bahkan dahulu pelaut Marco Polo yang sempat singgah di kota ini mengatakan, bahwa Hangzhou adalah kota yang paling indah di dunia.
Selain terkenal sebagai penghasil sutera terbesar di Tiongkok, Hangzhou juga memiliki banyak destinasi menarik yang sayang dilewatkan seperti Danau Barat Xi Hu, Pagoda Leifeng, Kuil Lingyin, Longjingshan Cultural Tea Village, dan masih banyak lagi.
Kota Hangzhou memang memiliki sejarah panjang tentang pengolahan teh. Menurut banyak catatan, masyarakat kota ini sudah sejak seribu tahun yang lalu telah membudidayakan dan mengolah teh menjadi minuman seperti sekarang ini.
Ayam Pengemis
Nah saat mengunjungi Longjingshan Cultural Tea Village saya dan rombongan mampir ke resto klasik yang unik. Seperti biasa, selama di Tiongkok kami selalu makan bersama dalam satu meja. Saya sampai hapal runtutannya. Pramusaji biasanya akan mengeluarkan minuman terlebih dahulu, kemudian disusul nasi, sayur, dan lauk pauknya.
Menu yang disajikan hampir selalu sama; nasi, sayur brokoli, sawi putih, jamur, bebek panggang, dan beberapa masakan lain.
“Di resto ini ada menu khas yang tidak ada di tempat lain. Lihat saja nanti” Ahsan tour guide kami menjelaskan.
Kami semua penasaran. Sepertinya semua pesanan sudah ada di atas meja. Namun Ahsan meminta kami untuk menunggu. Dan sejurus kemudian sang pramusaji membawa nampan terakhirnya.
“Nah, ini dia. Ini yang dinamakan ayam pengemis. Rasanya lezat sekali” Ahsan meyakinkan.
Saya mengamati bungkusan yang terhidang. Hmm.. baunya cukup menggoda.
“Buka saja” pinta Ahsan
Saya bergegas membuka bungkusan yang berisi ayam tersebut. Bentuknya mirip seperti ayam ungkep atau rasulan di Jawa. Hanya beda cara memasaknya. Menurut Ahsan cara memasak ayam pengemis yakni ayam direndam dalam aneka bumbu, kemudian dibungkus dengan plastik agar kuah tetap terjaga, lalu dibungkus dengan daun teratai, terakhir dibungkus dengan alumunium foil. Setelah itu, ayam dipanggang selama beberapa jam, agar bumbu-bumbunya meresap hingga ke lapisan terdalam daging. Disamping itu juga agar tekstur tulangnya lembut dan lunak seperti dipresto.
Asal mula ayam pengemis konon dulu di Hangzhou, ada seorang pengemis yang karena lapar mencuri ayam milik penduduk. Ia berniat memasak ayam curian tersebut tetapi tidak punya kuwali. Karena takut ketahuan akhirnya ayam dibungkus pakai daun teratai, kemudian dilumuri tanah liat dan dibakar.
Tidak disangka ternyata rasanya sangat lezat. Dan konon harum aromanya masakannya tercium sampai kemana-mana. Syahdan lewat seorang pemilik rumah makan terkenal di Hangzhou. Sang pengemis kemudian diminta menjadi koki di rumah makan tersebut. Sejak disajikan menu ayam olahan sang pengemis , rumah makan itu menjadi ramai dikunjungi pembeli. Versi lain, ia diangkat kaisar menjadi juru masak istana. Mana yang betul, saya tidak tahu.
Tapi jujur soal rasa, kemasyhuran lezatnya ayam pengemis hanya legenda. Menurut saya jauh lebih dahsyat lezatnya pecel lele dan ayam goreng Lamongan yang bisa kita dapatkan dengan mudah di pinggir-pinggir jalan, takperlu jauh-jauh ke Hangzhou. Hehe. (Muslihudin el Hasanudin).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H