“Buka saja” pinta Ahsan
Saya bergegas membuka bungkusan yang berisi ayam tersebut. Bentuknya mirip seperti ayam ungkep atau rasulan di Jawa. Hanya beda cara memasaknya. Menurut Ahsan cara memasak ayam pengemis yakni ayam direndam dalam aneka bumbu, kemudian dibungkus dengan plastik agar kuah tetap terjaga, lalu dibungkus dengan daun teratai, terakhir dibungkus dengan alumunium foil. Setelah itu, ayam dipanggang selama beberapa jam, agar bumbu-bumbunya meresap hingga ke lapisan terdalam daging. Disamping itu juga agar tekstur tulangnya lembut dan lunak seperti dipresto.
Asal mula ayam pengemis konon dulu di Hangzhou, ada seorang pengemis yang karena lapar mencuri ayam milik penduduk. Ia berniat memasak ayam curian tersebut tetapi tidak punya kuwali. Karena takut ketahuan akhirnya ayam dibungkus pakai daun teratai, kemudian dilumuri tanah liat dan dibakar.
Tidak disangka ternyata rasanya sangat lezat. Dan konon harum aromanya masakannya tercium sampai kemana-mana. Syahdan lewat seorang pemilik rumah makan terkenal di Hangzhou. Sang pengemis kemudian diminta menjadi koki di rumah makan tersebut. Sejak disajikan menu ayam olahan sang pengemis , rumah makan itu menjadi ramai dikunjungi pembeli. Versi lain, ia diangkat kaisar menjadi juru masak istana. Mana yang betul, saya tidak tahu.
Tapi jujur soal rasa, kemasyhuran lezatnya ayam pengemis hanya legenda. Menurut saya jauh lebih dahsyat lezatnya pecel lele dan ayam goreng Lamongan yang bisa kita dapatkan dengan mudah di pinggir-pinggir jalan, takperlu jauh-jauh ke Hangzhou. Hehe. (Muslihudin el Hasanudin).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H