[caption caption="Antrean pembayar pajak kendaraan di kantor Samsat Semarang (foto dindin)"][/caption]Beberapa hari yang lalu, saya mengurus perpanjangan pajak kendaraan bermotor di kantor Samsat Semarang. Biasanya saya titipkan lewat seseorang. Saya sengaja melakukannya, karena ingin tahu prosedur dan mekanismenya.
Mulanya saya datang ke gerai Samsat di Lotte Mart di dekat kantor, namun karena terkategori terlambat oleh petugas disarankan ke Samsat Induk di Jl Brigjen Sudiarto, Pedurungan. Dari sana saya disarankan ke Samsat Online III Semarang Barat, karena harus cek fisik kendaraan dan masuknya area Semarang Barat.
Acung jempol untuk Pemprov Jateng, semua kantor pelayanan publik kini sudah naik kelas. Demikian juga pelayanan di front office kantor yang dikelola oleh Pemprov, Jasa Marga, dan Polda Jateng itu. Standar operasional prosedur pelayanan semua sudah tertata. Standar biaya, standar waktu, SDM, dan perangkat pendukungnya semua rapi. Pokoknya tidak kalah lagi dengan pelayanan bank.
Namun pelayanan prima di garis depan ini tidak sejalan dengan lini-lini belakangnya. Masih saja ada deviasi yang justru mencoreng institusi. Seperti yang saya alami.
Misalnya saja saat cek fisik nomor rangka kendaraan, tetap saja harus keluar biaya. Sebenarnya petugas desk informasi sudah memberi info ke saya “Boleh memberi, boleh tidak ke petugasnya”.
Antrean cek fisik kendaraan pada waktu itu tidak begitu padat. Ada dua petugas berseragam yang melayani. Satu di antaranya sedang mengerjakan cek fisik kendaraan milik bapak tua yang mengantre di depan saya. Satunya lagi tengah duduk istirahat.
Setelah selesai dengan tugasnya, petugas itu mengucap kepada Pak Tua “monggo pak ngasih seikhlasnya”.
“Lho kok bayar, katanya gratis” Pak Tua itu bertanya.
Petugas berseragam diam saja, namun dari sikapnya tampak jelas ia menggerutu. Setengah jengkel.
“Ya sudah nanti tak bayar. Kalau sudah selesai semua urusan” Pak Tua itu tampaknya tahu kekecewaan petugas berseragam tadi.
Giliran motor saya selesai, beberapa lembar uang saya berikan kepada petugas tadi.
“Langsung ke bagian arsip ya Pak” ia memberi petunjuk dengan ramah.
Tiba di bagian arsip saya bertemu lagi dengan Pak Tua tadi. Ia tampak sibuk menyiapkan berkas.
“Mbayar meneh Mas” ungkapnya.
“Beraapa Pak?” tanya saya.
“Sepuluh ribu” jawab Pak Tua.
Benar saja saat saya meminta pengesahan dan stempel, petugas berucap “Sepuluh ribu Mas”.
[caption caption="Warga mengambil formulir mutasi di sebuah loket pelayanan (foto dindin)"]
Saya berikan uang pas. Ia menerima dengan senang hati dan langsung memasukkan ke saku bajunya. Begitu juga saat pengambilan lembar STNK, petugas juga meminta uang dua ribu rupiah untuk plastic cover STNK.
Mestinya semua biaya bisa disimpelkan dalam satu paket pembayaran. Mulai biaya pajak kendaraan, cek fisik, pengesahan arsip, atau biaya remeh temeh macam cover plastik disatukan dalam satu biaya. Simpel. Saya yakin, pembayar pajak seperti saya pun tidak akan menghitung secara detail untuk apa peruntukan biaya-biaya itu. Lebih bagus lagi kalau biaya itu dibayarkan nontunai. Melalui mekanisme transfer. Tentu akan menghindarkan penguapan penerimaan negara yang selama ini masih jadi persoalan yang tak kunjung teratasi.
Saya juga heran dengan mentalitas para pegawai ini. Dengan tidak punya malu masih meminta urang receh dari pembayar pajak yang kebanyakan rakyat jelata macam saya. Bukankah para pegawai itu sudah mendapatkan gaji berlebih? Gaji pokok, tunjangan ini, tunjangan itu, remunerasi, plus tunjangan tambahan dari upah pungut? Sungguh tidak mudah mengusir Pak Ogah dari kantor pemerintah. (din)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H