“Langsung ke bagian arsip ya Pak” ia memberi petunjuk dengan ramah.
Tiba di bagian arsip saya bertemu lagi dengan Pak Tua tadi. Ia tampak sibuk menyiapkan berkas.
“Mbayar meneh Mas” ungkapnya.
“Beraapa Pak?” tanya saya.
“Sepuluh ribu” jawab Pak Tua.
Benar saja saat saya meminta pengesahan dan stempel, petugas berucap “Sepuluh ribu Mas”.
[caption caption="Warga mengambil formulir mutasi di sebuah loket pelayanan (foto dindin)"]
Saya berikan uang pas. Ia menerima dengan senang hati dan langsung memasukkan ke saku bajunya. Begitu juga saat pengambilan lembar STNK, petugas juga meminta uang dua ribu rupiah untuk plastic cover STNK.
Mestinya semua biaya bisa disimpelkan dalam satu paket pembayaran. Mulai biaya pajak kendaraan, cek fisik, pengesahan arsip, atau biaya remeh temeh macam cover plastik disatukan dalam satu biaya. Simpel. Saya yakin, pembayar pajak seperti saya pun tidak akan menghitung secara detail untuk apa peruntukan biaya-biaya itu. Lebih bagus lagi kalau biaya itu dibayarkan nontunai. Melalui mekanisme transfer. Tentu akan menghindarkan penguapan penerimaan negara yang selama ini masih jadi persoalan yang tak kunjung teratasi.
Saya juga heran dengan mentalitas para pegawai ini. Dengan tidak punya malu masih meminta urang receh dari pembayar pajak yang kebanyakan rakyat jelata macam saya. Bukankah para pegawai itu sudah mendapatkan gaji berlebih? Gaji pokok, tunjangan ini, tunjangan itu, remunerasi, plus tunjangan tambahan dari upah pungut? Sungguh tidak mudah mengusir Pak Ogah dari kantor pemerintah. (din)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H