[caption caption="Anthony, Alex, dan Saya sebelum menyeberang ke Gilimanuk (foto dindin)"][/caption]Ini cerita tentang persahabatan, kemurahatian, dan kesadaran pentingnya menghargai sesama. Kepada siapa saja, terutama kepada orang-orang yang baru kita kenal. Karena sesungguhnya persahabatan dan empati itu berawal dari sebuah kepercayaan dan ketulusan.
Hari hampir petang saat Kereta Maharani yang saya tumpangi dari Semarang tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya. Kacaunya jadwal penerbangan ke Ngurah Rai akibat letusan Anak Gunung Rinjani membuat banyak orang memilih jalan darat untuk sampai ke Bali. Begitu juga dengan saya dan rekan-rekan kompasianer lain yang diundang untuk ekplorasi budaya Indonesia di Ubud, Bali. Kegiatan menarik yang motori oleh Kementrian Pariwisata dan Indonesia.travel ini tentu sayang dilewatkan. Menginngat banyak fasilitas yang diberikan kepada peserta salah satunya menginap dua malam di Courtyard by Marriot Seminyak, mengunjungi Museum Antonio Blanco di Ubud, dan banyak lagi lainnya. Jadi walau berdarah-darah tentu saya berjuang mengikutinya.
Keluar dari Stasiun Pasar Turi saya duduk dan istirahat di sebuah bangku kosong sepanjang Jl. Semarang. Beberapa tukang becak dan sopir taksi yang menangkap kebingungan saya menawarkan jasanya. Saya menolak halus dengan alasan sudah ada kawan yang akan menjemput, padahal tidak satupun kawan di Surabaya yang saya kenal.
“Mau ke mana Mas” sekonyong-konyong duduk di samping saya pria paruh baya. Matanya menyelidik. Sepertinya sudah sejak tadi menguntit saya.
“Mau Denpasar. Enaknya naik apa ya Bang” tanya saya kepadanya.
“Bisa naik apa saja. Bus bisa. Kereta bisa. Sebaiknya naik bus saja deket kok dari sini. Ayo saya antar Cuma duapuluh lima ribu kok. Kalau ndak dapat bus ndak usah bayar” dia menawarkan jasa tapi dengan nada memaksa.
“Kalau ke bandara berapa? tanya saya
“Ke bandara empat puluh ribu”
“Berapa menit ke sana”
“Lima menit lah”
“Masa Bang. Jaraknya kan tiga puluh kilometeran dari sini”