Terlepas dari kualitas isinya seperti apa, kita sampaikan hormat setinggi-tingginya kepada para mahasiswa yang sudah bersusah payah menyiapkan bahan ini, didorong gairah belajar sejarah bangsanya sendiri, dan pemalsuan sejarah oleh Negara dalam buku teks resmi di bangku sekolah dan kuliah.
Terima kasih juga layak disampaikan kepada kepala daerah, tentara dan polisi di Salatiga, karena berkat sepak-terjang mereka, terbitan ini mendadak jadi populer di dunia.
Itu update terakhir akun Ariel Heryanto dilaman facebooknya. Pada saat saya mengunduh tautan tersebut, link yang tersedia masih alternatif 1-4. Saya beruntung masih bisa mengunduhnya dengan mudah via laman berbagi file 4shared.com
Membaca liputan khusus Lentera Salatiga Kota Merah serasa membaca Majalah Tempo. Layout dan penyajiannya takjauh beda. Saya acung jempol untuk kawan-kawan lentera, sungguh kerja keras yang tidak sia-sia. Sebuah prasasti sejarah-walau dari sudut pandang mahasiswa-telah berhasil tercipta.
Membaca keseluruhan edisi khusus Lentera, saya jadi bertanya-tanya benarkah ini hasil murni karya mahasiswa? Mungkinkan ada pihak lain yang terlibat di dalamnya? Lihat saja foto-foto dokumentasi pelengkap berita sungguh “berbicara”. Semua A1. Sepertinya belum pernah terpublikasikan sebelumnya. Pun oleh media nasional.
Redaksi sepertinya memang telah mempersiapkan liputan khusus tentang Peristiswa G 30 S PKI ini dengan matang. Tim yang diterjunkan pun tidak main-main. Full tim.
Bukan tanpa kendala. Menurut Bima Satria Putra Pimred Lentera dalam editorialnya mengemukakan bahwa tidak semua awak redaksi mau melakukan liputan. Tidak masalah, mereka punya hak untuk itu. Akhirnya Lentera berjalan dengan sebagian awak redaksi saja. Kami mencari informasi melalui literature-literatur, melakukan observasi lapangan, dan mewawancarai pelaku sejarah. Kebanyakan narasumber menolak diwawancarai. Sebagian takut, sebagain memang enggan (hal 4).
Membaca lentera edisi ini, serasa membaca sejarah Salatiga dari sisi yang lain. Bisa jadi ini adalah dokumen pertama yang memotret secara vulgar tentang peristiwa kelam G30 S PKI yang terjadi di Salatiga dan sekitarnya. Sungguh renyah disimak, walau taksampai tuntas mengupas.
Hanya saja, konklusi dalam di akhir beberapa artikel kadang terburu-buru dan gagal membuat opini yang mencerahkan pembaca. Bahkan ada yang cenderung menghakimi satu pihak. Dan dalam etika jusrnalistik harus ada perimbangan berita. Redaksi berkewaajiban memuat opini narasumber lain agar sudut pandang redaksi tidak berat sebelah. Mungkin inilah yang membuat gerah aparat berwenang dan pada akhirnnya berujung pada penarikan majalah yang sudah kadung beredar di masyarakat.
Tanggapan pun bermunculan atas ditariknya Lentera dari peredaran. Ada yang pro ada juga yang kontra. Namun setidaknya keberanian dan kerja keras anak-anak muda di UKSW ini patut diapresiasi. Takusah mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Kita berkewajiban memberikan warisan fakta sejarah kepada anak cucu kita, bukan sebuah cerita rekayasa untuk kepentingan golongan tertentu. Tentu saja agar menjadi pelajaran berharga bagi semua anak bangsa untuk terus menjaga tetap tegaknya Indonesia tercinta. Mohon maaf kalau saya keliru.