Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pesona Biru Baluran Banyuwangi dan Magisnya Suramadu Bareng Kirana VII

2 November 2023   12:21 Diperbarui: 3 November 2023   11:25 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya sisakan bagian yang mustahil bisa dimakan :D Dokpri

Halo hai lagi traveller Kompasiana. Entah sudah berapa lama saya absen mengisahkan sebagian besar trip saya di laman ini. Syukurlah, akhirnya berjodoh kembali. Yang ini, perjalanan sehari penuh saya menggunakan kapal laut. KM. Kirana VII, menghubungkan pelabuhan Lembar di Lombok, ke pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. 

Bagi saya, tentu saja trip mengesankan. Seperti biasa. Ikhtiar membudayakan nasehat baik dosen pembimbing KKN saya dulu -- bahkan mungkin nasehat banyak orang tua kita. Kenanglah bagian yang terbaik. Bagian kurang menyenangkang, tenggelamkan! Kalau pun hendak dibicarakan, bicarakan secara konstruktif. Sebagai saran membangun. Bukan sekadar mencela.

Perjalanan saya di Senin malam, 30 Oktober lalu. Merapat sekitar 20 jam, di pelabuhan Tanjung Perak, Selasa 31 Oktober 2023. Trip super pertama menggunakan kapal sejenis KM. Kirana VII. Hasil mengobrol dengan driver grab yang mengantar saya dari Tanjung Perak ke terminal Bungurasih, kapal ini berjenis kapal roro. 

Semua jenis kendaraan dan penumpang kapal, bisa mudah naik turun pelabuhan. Satu kondisi, yang ternyata agak mempengaruhi satu moda transportasi yang diandalkan backpacker seperti saya. Ketiadaan Damri. Moda transportasi yang sangat memudahkan solo traveller atau pelintas yang hendak segera sampai ke lokasi tujuan utama.

Baiklah. Kembali ke perjalanan, karena sempat terlibat program mentoring UMKM yang marathon sejak Juli dulu, saya memilih tiket Ekonomi Tidur. Pesan, beli dan bayar secara online, total harga yang saya transfer di angka Rp. 201.500,-. Harga dasar tiketnya sendiri, sekitar 180 ribuan. Intip sendiri saja ya di web PT. DLU -- Dharma Lautan Utama. Jam berangkat, tepat di pukul 10 malam Wita. Kesan menyenangkan pertama. Alhamdulillah.

Layanan Solo Traveller Terbaik di Kirana VII

Ingat saya tuliskan ini trip super pertama? Nah, mungkin karena ini pula, saya tidak mempertimbangkan perkiraan nomor bed yang saya dapatkan, ketika memutuskan menukarkan etiket menjadi gelang penumpang. 

Usai mengajar di satu workshop kepenulisan di salah satu sekolah negeri di kota Mataram, di setengah hari Senin, lalu berlanjut ke event Mafindo di Warung Upnormal, praktis saya sampai di pelabuhan Lembar Lombok setelah maghrib. Tadinya, suami saya yang mengantar, sempat mengusulkan untuk kembali dulu ke rumah di kota Selong, kabupaten Lombok Timur.

Sungguh ide yang buruk, terutama bagi bagian bawah punggung saya. Boyoken, gaes. Protes yang seolah didukung semesta. Saat menuliskan rilis kegiatan Mafindo, kota Mataram diguyur hujan lebat pertama di jelang musim hujan tahun ini. Jadilah kami menunggui hujan reda dulu. Tidak bawa jas hujan. Kami motoran. 

Ada backpack dan satu dus oleh-oleh titipan. Riskan kalau basah tersiram hujan. Hujan menjadi gerimis, sesaat sebelum maghrib waktu Lombok. Sunset yang tertutup awan abu-abu tebal. Masih ada tumpukan bakal air hujan. Setengah jam menuju Lembar, sesaat sebelum memutari bundaran patung sapi alias Giri Menang, saya baru sadar. Area ini kering kerontang. Curah hujan lebat, hanya di tengah kota Mataram.

Masuk ke area pelabuhan Lembar Lombok, kami sempat salah masuk. Papan-papan penunjuk arah, kurang jelas. Posisinya gelap, terutama jika berjarak lebih dari 5 meter. Lampu-lampu penerangan jalan, tidak menampakkan informasi atau petunjuk arah yang tertera. Iyak, kami salah antri. 

Meski sudah pertama, karena loket antri untuk pemotor yang hendak menyeberang ke Pulau Bali, motor kami nge-gas ke arah pintu keluar. Arah masuk untuk KM. Kirana VII, ternyata lebih agak ke arah barat lagi. Tambahan petunjuk lainnya, umumnya trafik memperlihatkan antrian truk besar, fuso atau mobil kargo. Ikuti rombongan ini, di sisi paling kiri, terlihat jalur khusus motor.

Dua cowok pendaki Gunung Rinjani dari Bogor. Thanks ya, sabar dengerin dongeng saya dan suami. Dokpri
Dua cowok pendaki Gunung Rinjani dari Bogor. Thanks ya, sabar dengerin dongeng saya dan suami. Dokpri

Segera setelah masuk, tampak jelas KM. Kirana VII yang sedang sandar di sisi pantai dan bangunan beratap biru, lounge atau ruang tunggu penumpang. Gerbang utaa bangunan ini ditutup. 

Parkir motor dan mobil, berada di luar kompleks bangunan. Bagus si. Jadi tidak tampak sesak dan hanya calon penumpang atau pengantar yang berlalu lalang. Saya dan suami menunggu di sini, sekitar 3 jam lebih. 

Tengok kiri dan kanan, ada dua pemuda tanggung, dengan keril dan backpack mereka bersandar ke dinding. Deretan kursi penumpang telah penuh oleh rombongan ibu-ibu berkerudung sama biru. Juga beberapa bapak yang mengenakan baju yang tamapk seragam. 

Hasil saling sapa ringan, mereka sekelompok keluarga dari satu kantor, yang habis liburan bersama ke Lombok. Ah ia, tentu saja, kami membuka obrolan dengan bahasa Indonesia yang dimedok-medokkan ke aksen bahasa Jawa. Ya juga karena suami saya memang aslinya dari kota Semarang, Jawa Tengah.

Masuk bed paling awal, saya sempat memotret pintu toilet dan bak sampah hijaunya. Dokpri
Masuk bed paling awal, saya sempat memotret pintu toilet dan bak sampah hijaunya. Dokpri

Aduh, hampir terlewat dengan judul dari sub bagian ini. Jani, begidi. Sekitar pukul 8 malam, petugas di ruang tunggu penumpang akhirnya membolehkan dimulainya penukaran tiket. Segera saya mendapatkan nomor 24. Print out tiket kemudian ditukarkan di meja sebelah persis, menjadi gelang. 

Gelang saya warna hitam, tertulis nama PT. DLU, satu nomor entah penanda apa. Sudah. Itu saja. Sama sekali tak terlintas, akan seperti apa bed atau posisi bed untuk nomor tiket saya. 

Bekal awal hanyalah, bed-nya mirip bunk-bed. Bertingkat dua. Cukup bersih, dengan satu rak di atas kepala untuk menyimpan barang dan satu colokan. Saya dan suami, lagi-lagi memulai dengan saling sapa, berujung saling bercerita seru tentang pendakian gunung Rinjani. 

Dua cowok tanggung, teman ngobrol kami, hanya saya ingat seorang yang berasal Bogor. Atau mungkin sebenarnya mereka berdua yak. Yang saya ingat, ketika saya tanyakan, apa yang paling mereka kangen dari kuliner Bogor saat masih di perjalanan pulang begini, mereka serentak menjawab 'Nasi Uduk'!

Tiket fisik saya sudah terobek dua kali, artinya saya sudah ambil dua jatah makan di KM. Kirana VII. Dokpri
Tiket fisik saya sudah terobek dua kali, artinya saya sudah ambil dua jatah makan di KM. Kirana VII. Dokpri

Dua titik tempat wudhu, musholla berAC dingin dan ABK yang sigap membersihkan. Keren KM. Kirana VII. Dokpri
Dua titik tempat wudhu, musholla berAC dingin dan ABK yang sigap membersihkan. Keren KM. Kirana VII. Dokpri

Jelang pukul 10 malam, petugas akhirnya mengumumkan penumpang sudah boleh naik ke kapal. Sayang, suami saya tidak boleh mengantar sampai ke dek lokasi bed. Hanya boleh persis di depan plat besi tebal, penghubung semua yang hendak segera masuk ke lambung kapal. Demi tidak macet di perjalanan antar ruangan, petugas kapal berikutnya langsung mengarahkan semua penumpang sesuai nomor tiket mereka. Lalu, terjadilah 'drama' pertama saya.

Bed nomor 24, ternyata berada di bawah, persis di depan pintu toilet -- yang otomatis juga bersebelahan dengan tempat sampah hijau besar, berderet dengan sekitar 4 bed lainnya ke sisi kiri. Belakangan, saya semakin shock, karena 4 bed tersebut diisi bapak-bapak semua! Lah bu, kan solo traveller. Masa begitu doang shock?

Bed 244, spot pindah saya, berada paling kiri dari tangga kayu ini. 5 deret bed, praktis hanya ada saya saja. Dokpri
Bed 244, spot pindah saya, berada paling kiri dari tangga kayu ini. 5 deret bed, praktis hanya ada saya saja. Dokpri

Nganu. Sisi mengejutkan bagi saya adalah, ekspektasi saya, setidaknya ada sisi tubuh saya yang terasa aman. Misal, jika pun bersebelahan dengan lelaki, paling tidak saya memunggungi tembok. Ini, bagaimana pun posis tidur saya nanti, semuanya 'terbuka'. Bahkan jika terlentang sekali pun, tetap terasa tak nyaman. Huwwaaa.. Sekian detik, setelah curcol ke suami melalui WA, saya mulai memikirkan solusi. Tuhan, semoga petugas kapal membantu saya dan memudahkan jika saya meminta pindah bed. Saya juga siap jika harus membayar ekstra.

Sekian belas menit, puluhan penumpang tampaknya sudah mengatur posisi sesuai bed mereka. Ruang Ekonomi Tidur, dinamai Gili Air. Di momen yang sudah agak reda inilah, saya beranjak menghampiri dua petugas yang berjaga di pintu masuk. 

Langsung lugas menceritakan masalah saya, salah seorang petugas dengan ramah menawarkan pindah bed. Ya Allah, alhamdulillah, masya Allah tabarakallah. Tetap di nada sopan yang sama, petugas tersebut menutup dengan kalimat, "Ibu bisa menambah biaya ekstra. Tapi, tidak tambah biaya pun tidak apa-apa".

Dua bangku ini, berada persis di depan pintu masuk ruang Gili Trawangan. Dua deret bunk bed, persis berada di sebaliknya. Dokpri
Dua bangku ini, berada persis di depan pintu masuk ruang Gili Trawangan. Dua deret bunk bed, persis berada di sebaliknya. Dokpri

Hiasan dinding, tenun Lombok motif Bintang Empet, di satu bidang tembok ruang Gili Trawangan. Dokpri
Hiasan dinding, tenun Lombok motif Bintang Empet, di satu bidang tembok ruang Gili Trawangan. Dokpri

Nyesss. Hati dan tubuh saya mendadak terasa sejuk. Petugas lain, bergegas mengantarkan saya ke bed lokasi pindah. Ruangannya bernama Gili Trawangan. Bed atas, paling sudut, dan empat bed lain sederetan, kosong! Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban. Sungguh layanan keren dari PT. DLU, wabil khusus para ABK KKM. Kirana VII. Matur agung tampiasih yaaa..

Baluran Banyuwangi, Suramadu nan Magis, Metropolis Surabaya Yang Menenangkan

Alhamdulillah. Malam pertama yang nyenyak. Terutama karena saya tidak perlu merasa tidak enak, apakah suara dengkur kelelahan saya menggangu penghuni bed di sebelah saya persis. Bolak balik badan juga nyaman. Tendang jauh ke kiri, bebas. Tendang jauh ke kanan, eit, jangan terlalu kanan. Nanti bisa jatuh ke bawah. 

Ruang Gili Trawangan, berisi 4 bunkbed. Relatif tertutup, dengan akses masuk di tengah sendiri, juga jalur mentok kanan dan kiri. Dua televisi LED, tertempel di tengah-tengah, di dua bidang tembok kiri serta kanan. Dua bangku tertutup biru, berisi kotak-kotak jaket keselamatan.

 Satu tangga kayu, merapat ke sisi tembok, searah pintu masuk utama. Dua pintu geser di sisi kiri dan kanan, ditutup selama pelayaran. Dua bunk bed lain, sisi tangganya berada dekat tembok. Dua titik kamera CCTV, diletakkan di sudut siku tembok. Super aman. Ide untuk berlaku negatif sekalipun, seolah sudah terbaca dua kamera ini :D

Cafetaria ini, berada di sisi ujung lain dari ruang baca. Dua ruang toilet, berada di sisi kiri kanan. Bersih. Dokpri
Cafetaria ini, berada di sisi ujung lain dari ruang baca. Dua ruang toilet, berada di sisi kiri kanan. Bersih. Dokpri

Dua koran Minggu, 29 Oktober. Ada cerpan bagus di koran cetak Kompas. Dokpri
Dua koran Minggu, 29 Oktober. Ada cerpan bagus di koran cetak Kompas. Dokpri

Dua menu makan tertempel jelas juga. Sayangnya, dua kotak makan saya, bukan dua menu ini. Dokpri
Dua menu makan tertempel jelas juga. Sayangnya, dua kotak makan saya, bukan dua menu ini. Dokpri

Saya terbangun pagi buta. Masih 15 menit menuju pukul 4. Jam di hp, sekarang hanya satu. WIB. Saya memutuskan mau mandi dulu. Mumpung masih pagi. Selesai mandi, niat hendak berburu sunrise, gagal. 

Rasa kantuk, memaksa saya merangkak, kembali ke bed. Saat terbangun, sudah lewat jam sarapan. Hampir pukul 8 pagi. Tanya ke meja Informasi, kotak sarapan bisa langsung saya minta ke dapur saja. Untuk ini, wajib menunjukkan tiket fisik. Lalu tiket dirobek sekali. Penanda sudah dapat jatah makan pertama. Saya naik ke dek teratas untuk menikmati sarapan yang kesiangan. Enak. Rawon dengan resep aslinya, khas Surabaya atau Jawa Timur an. Tandas dong. Sepotong melon yang masih dingin efek tersimpan di lemari pendingin, juga tandas. 

Habis sarapan, tengok kiri dan kanan, terlihat satu daratan. Saya pikir, Gunung Batur Bali. Belakangan, dua cowok pendaki yang juga sedang naik ke dek atas, meyakinkan saya bahwa itu Baluran Banyuwangi. Praktis, hanya spot ini yang menjadi satu-satunya daratan yang berhasil saya foto. Yang lain, sudah kadung terlewatkan. Mungkin di perjalanan malam, saat saya terbuai di pulau kapuk.

Selewat Baluran Banyuwangi, aktivitas saya hanya makan, tidur, baca, berulang. Niat baik, hendak molor full sehari, ternyata tak sebaik di pikiran. Badan saya malah pegal tak jelas. 

Akhirnya ya itu tadi. Bolak balik ke sana, ke sini, membaca hampir semua koran di lapak koran, membaca novel yang sengaja saya bawa, makan, berulang. Dua penyanyi, Miss Susi, Miss Meisya dan Mr. Koko (pemain organ tunggal dan pengiring utama penyanyi), yang menghibur penumpang di dua jam jelang makan siang, dan setelah Ashar, hanya saya foto sebentar saja. Saya memilih membaca dan kembali ke bed saja.

Kotak makan pertama, melon dingin, tempe goreng dan rowon. Enak dan tandas! Dokpri
Kotak makan pertama, melon dingin, tempe goreng dan rowon. Enak dan tandas! Dokpri

Hanya sisakan bagian yang mustahil bisa dimakan :D Dokpri
Hanya sisakan bagian yang mustahil bisa dimakan :D Dokpri

Satu spot mural di badan kapal. Ruang hiburan, tersimpan di memori Brica. Hiks. Dokpri
Satu spot mural di badan kapal. Ruang hiburan, tersimpan di memori Brica. Hiks. Dokpri

Jelang sunset, akhirnya siluet beberapa gedung tinggi kota Metropolis Surabaya mulai tampak di horizon. Keliling melihat langit, ternyata titik sunset tertutup awan yang seolah seperti kipas raksasa. Bulatan oranye matahari, seperti seperempat dari mata ajabi Mad-Eye Moody di seri Harpot. Ujung terluar lembar kipas, seputih kapas, berlapis dan ditutup segaris tipis semburat oranya. Bagian tengah kipas, kelabu pekat. 

Semakin mendekat ke arah pelabuhan, bentang kipas melebar dan menyisakan tipis nila yang mulai menggelap. Di momen inilah, perlahan, KM. Kirana VII merapat ke bagian bawah jembaran Suramadu. Jembatan terpanjang se-Indonesia, sepanjang 5 km lebih, dibangun di masa pemerintahan SBY. Dimulai di tahun 2003, diresmikan di tahun 2009. Sudah beroperasi sekitar 14 tahun.

Sisi kiri kipas raksasa dan titik kecil sunset, berlatar siluet gedung Surabaya di horizon. Dokpri
Sisi kiri kipas raksasa dan titik kecil sunset, berlatar siluet gedung Surabaya di horizon. Dokpri

Indikator jelas, mata saya memang sudah minus parah. Dua tiang hijau Suramadu, hanya berbentuk siluet tak jelas. Dokpri
Indikator jelas, mata saya memang sudah minus parah. Dua tiang hijau Suramadu, hanya berbentuk siluet tak jelas. Dokpri

Sayang, hp saya kurang sakti. Tak kurang akal, saya keluarkan si Brica. Jadilah beberapa koleksi foto, video, momen melintas di bawah Suramadu tersimpan juga. Sayang berikutnya, saya menuliskan trip ini di laptop yang justru sakti. Saking saktinya, saya tidak tahu cara melihat memori Brica untuk mengambil koleksi foto saya. Wkwkwk..

Tepat pukul 8 malam, karena berjenis roro, KM. Kirana VII tidak butuh waktu lama untuk sandar di Tanjung Perak. Berikutnya, saya berburu damri atau moda transportasi yang bisa mengantarkan saya ke terminal Bungurasih. Di terminal ini, saya akan berburu bus patas, yang mengantar sampai ke Malang. Lokasi utama trip saya kali ini. Undangan keren seorang teman masa kecil. Undangan main. Alhamdulillah, masya Allah tabarakallah.

Dua bapak-bapak yang sedang melihat kondisi Tanjung Perak, saya beranikan sapa. Bahasa Jawa andalan dong. Rezeki saya. Dua bapak tersebut, meyakinkan saya bahwa naik damri adalah opsi terbaik. 

Belakangan, karena ternyata Damri pelabuhan hanya ada ketika kapal-kapal penumpang Pelni yang sandar, saya dan seorang bapak tersebut akhirnya sharing naik grab. Matur agung tampiasih Pak Marwan. Meski tak jadi naik damri, momen berjalan bareng, keluar dari area pelabuhan, membuat saya bisa memotret masjid agung kompleks pelabuhan. Satu spot, yang pernah dikisahkan kakak sulung saya. Dulu. Saat pernah bekerja di kota ini, di jaman kami masih di usia anak kuliahan.

Masjid di kompleks pelabuhan Tj. Perak. Berada dekat juga dengan terminal. Namun, damri dan ojol, tidak parkir atau jemput penumpang di sini. Dokpri
Masjid di kompleks pelabuhan Tj. Perak. Berada dekat juga dengan terminal. Namun, damri dan ojol, tidak parkir atau jemput penumpang di sini. Dokpri

Berkat pak Marwan pula, ia berhasil meyakinkan driver grab untuk wajib menurunkan saya di depan persis ruang tunggu penumpang Terminal Purabaya saja. Saya segera merasa aman. 

Sampai di ruang ini, saya tak sungkan bertanya ke banyak petugas berseragam dishub. Atau mungkin cuma seragam yang mirip. Semua pertanyaan saya diberikan jawaban baik, tegas dan arahan yang jelas. Sejak turun dari mobil, berjalan mantap, saya sudah bisa duduk di kursi di belakang kursi sopir bus, kurang dari 15 menit. Alhamdulillah. 

Patas Bungurasih Malang, Cepat, Sat Set, Nyaman dan Aman

Kembali berbahasa Jawa padu padan, aksen masih kental Lombok, tapi diusahakan dengan kosa kata agak sopan. "Nuwun sewu pak, kulo mandap teng Alfamart Ken Dedes nggih.."

Entah, apakah penulisan kata di atas sudah benar. Intinya, saya menitipkan pesan ke pak sopir bus, saya akan turun di Alfamart patung Ken Dedes. Menurut teman saya, spot ini berada di sisi kiri jalan. Jadi, tidak perlu repot menyeberang. Persis pula dengan perkiran teman saya, perjalanan dengan bus patas hampir satu jam persis. 

Meski saya sempat terlelap beberapa belas menit, saya sudah cukup segar ketika akhirnya turun di Alfamart yang dekat dengan Taman Ken Dedes. Satu area di wilayah Singosari, Malang. Teman saya ternyata juga baru saja sampai. Lima menit, saya sudah duduk di bangku kedua mobilnya. Ia dan suaminya, berkenan menjemput saya dan akhirnya mengarah ke rumahnya.

Terminal Purabaya yang terang benderang, petugas ramah dan responsif, bagian menenangkan bagi solo traveller. Dokpri
Terminal Purabaya yang terang benderang, petugas ramah dan responsif, bagian menenangkan bagi solo traveller. Dokpri

Bapak asisten sopir bus Hafana, juga ramah. Akhirnya, selamat dari calo bus akap. Dokpri
Bapak asisten sopir bus Hafana, juga ramah. Akhirnya, selamat dari calo bus akap. Dokpri

Tangga turun menuju bus patas, juga terang benderang. Dokpri
Tangga turun menuju bus patas, juga terang benderang. Dokpri

Bus begini juga yang jadi feeder bus di MotoGP Mandalika bulan lalu. Angkut banyak, nyaman dan dingin. Dokpri
Bus begini juga yang jadi feeder bus di MotoGP Mandalika bulan lalu. Angkut banyak, nyaman dan dingin. Dokpri

Eh, belum. Saya diajak berkeliling kota Malang dulu. Segelas STMJ coklat panas, berhasil mengurangi tumpukan angin laut, aroma pelabuhan Tanjung Perak, juga aroma khas bus patas. Spot-spot kota Malang yang agak berhasil saya ingat, salah satu kampus Universitas Merdeka Malang. SMA Lab. Deretan rumah klasik bergaya Eropa. 

Satu ruas jalan yang -- kabarnya, dikondisikan bersuasana jalan Malioboro Jogja atau Braga Bandung. Sekian menit kemudian, efek hangat segelas STMJ coklat panas, mulai mengembalikan bagian mengantuk saya. Walau diceritakan dengan rinci, tak banyak yang bisa saya ingat di perjalan menuju rumah teman saya. Daerah Landungsari. 

Sisa kenangan, saya sudah merasa seperti di rumah sendiri. Ibu teman saya juga sedang berkunjung. Momen-momen kembali berkumpul bersama, seolah menghadirkan banyak momen masa kecil kami dulu. Masa balita, SD, SMP, SMA, sampai kuliah. Masya Allah tabarakallah. Hiks, jadi pengen cengeng. Bapak kami berdua sudah berpulang. Silaturahmi terhangat yang masih kami miliki, bersama masing-masing ibu kami. 

Gelang tiket saya akhirnya dirobek juga. Persis setelah segelas STMJ Coklat panas tandas. Dokpri
Gelang tiket saya akhirnya dirobek juga. Persis setelah segelas STMJ Coklat panas tandas. Dokpri

Baiklah. Foto penutup saya untuk trip kali ini, adalah robekan gelang tiket KM. Kirana VII dan lembaran menu STMJ. Insya Allah, jika lancar, saya hendak menuliskan trip eksplor Malang. Misalnya, jika kita hanya trip setengah hari, atau mungkin sekadar melintas, atau perjalanan silaturahmi teman masa kecil seperti yang sedang saya lakukan sekarang. Insya Allah, aamiin.

*Malang, 2 Nopember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun