Cukup doa-doaku yang melangit. Ampuni aku yang gagal menggapaimu saat di bumi. Setidaknya belum. Bukan di sewindu ke belakang.
"Ibu mertuamu apa kabar? Pastinya masih sehat saja kan?"
"Mmm, sebenarnya, tidak tahu sih. Tapi, inshaAllah, kami percaya dan yakin, beliau sehat selalu."
"Eh, koq bisa tidak tahu?"
"Ibu sering berganti nomor HP. Jadilah kami juga sulit saling berkabar ..."
Dan kalimat-kalimat panjang berikutnya. Padahal, nyata faktanya. Ibu mertuaku, memang tak pernah kami tahu kabarnya di sewindu terakhir. Kadang-kadang, kondisi ini memaksaku mensyukuri super sibuknya keluarga besar. Urusan keluarga mereka masing-masing. Urusan bisnis mereka. Jadi, tak perlu aku berbelit memilih kalimat, hanya demi tutupi keluarga kecilku yang tak pernah berinteraksi dengan mama mertua. Jangan aku dan anak-anakku, suamiku yang putra tunggal beliau, memang memilih diam. Entah sampai berapa lama.
***
Jangan berharap banyak. Cukup kamu tahu, di setiap doaku, nama ibuku selalu hadir.
Begitulah. Kalimat penutup, sampai akhirnya kami tak lagi saling bertanya. Di aku pribadi, nama mama mertua wajib ada di daftar zakat fitrah, sedekah ini itu. Toh, terakhir kami pulang kampung, mama mencari kami semua. Kami menghabiskan waktu, seolah-0lah masing-masing kami hanya hidup maksimal di hari tersebut. Tak ada waktu saling mempertanyakan masa yang masing-masing kami sama-sama tak ada. Kami hanya sibuk bahagia.
"Mama itu tak mau minta banyakk-banyak. Cukup kalian semua bahagia, itu sudah sangat jauh lebih dari cukup. Tidak juga harus pulang setiap tahun."
"Iya Ma. Bahagianya mama, inshaAllah ya bahagia kami semua," tegasku, mengamini ucapan mama.
Mama yang cantik melebihi standar perempuan kebanyakan. Kecantikan yang membuatnya sering berselisih paham dengan putra tunggalnya. Putranya yang jadi suamiku. Tak suka perempuan berdandan cantik. Menurutnya, wajan tanpa polesan adalah wajah perempuan paling cantik di bumi. Mama, cantik, dengan atau tanpa polesan. Belakangan, aku bisa sadar. Mama mertua dan suamiku, sama-sama saling mencintai, cuup melalui bahasa-bahasa langit.
Tak mudah bagai manusia berstandar ke-bumi-an. Namun, terlalui juga ketika akhirnya aku dan anak-anak, mulai terbiasa pula titipkan cinta tak berbatas pada mama mertua, juga pada langit yang tak berbatas.
Kini, cinta kami, mama mertua, ibu dari si putra tunggal, tinggallah abadi di langit. Sampai masa yang mana? Masa-masa, tanpa awal dan tak ada akhirnya. Alhamdulillah
*Selong, 2 Juli 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI