"Mama itu tak mau minta banyakk-banyak. Cukup kalian semua bahagia, itu sudah sangat jauh lebih dari cukup. Tidak juga harus pulang setiap tahun."
"Iya Ma. Bahagianya mama, inshaAllah ya bahagia kami semua," tegasku, mengamini ucapan mama.
Mama yang cantik melebihi standar perempuan kebanyakan. Kecantikan yang membuatnya sering berselisih paham dengan putra tunggalnya. Putranya yang jadi suamiku. Tak suka perempuan berdandan cantik. Menurutnya, wajan tanpa polesan adalah wajah perempuan paling cantik di bumi. Mama, cantik, dengan atau tanpa polesan. Belakangan, aku bisa sadar. Mama mertua dan suamiku, sama-sama saling mencintai, cuup melalui bahasa-bahasa langit.
Tak mudah bagai manusia berstandar ke-bumi-an. Namun, terlalui juga ketika akhirnya aku dan anak-anak, mulai terbiasa pula titipkan cinta tak berbatas pada mama mertua, juga pada langit yang tak berbatas.
Kini, cinta kami, mama mertua, ibu dari si putra tunggal, tinggallah abadi di langit. Sampai masa yang mana? Masa-masa, tanpa awal dan tak ada akhirnya. Alhamdulillah
*Selong, 2 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H