Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ustad atau Ustadzah Panutan, Dakwah sampai di Sosok Keseharian

8 April 2022   12:12 Diperbarui: 8 April 2022   12:29 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tema hari ini cukup sulit bagi saya. Saya muslim, bahkan tinggal di kabupaten dengan persentase penganut muslim di atas 98%. Tepatnya kabupaten Lombok Timur (Lotim). Lahir dan hampir setengah abad di kota kabupaten ini, sosok ustadz yang melekat erat di ingatan saya, masih bernama sama serta belum tergantikan. Ustadz Manhaluddin. 

Entah harus bersedih, googling nama beliau sekadar memastikan abjad serta atribusi, tidak berhasil. Belum ada jejak digital.

Ustadz Manhaluddin, guru mengaji saya sejak masih di bangku sekolah dasar. Tahun 80-an. Sekarang pun, beliau masih aktif menjadi Imam Sholat, muadzin, bahkan masih sering pula membacakan 'Berita Keluarga' (pengumuman meninggalnya fulan fulana). Suara beliau lantang, tidak terpengaruh kondisi fisik yang semakin sepuh.

Belakangan, ketika mendiskusikan susahnya menemukan sosok ustadz atau ustadzah panutan di salah satu WAG Kompasianers (tampiasih Kompal :D), tersebutkan nama TGB - Tuan Guru Bajang. MashaAllah, koq bisa terlewat ya.

Nah, beliau inilah yang akhirnya akan saya tuliskan kali ini. 

TGB jauh lebih diakrabi, dibanding penyebutan ustadz. Semacam sudah satu kesatuan. Di Lombok, nama Tuan Guru lebih familiar. Termasuk ketika membicarakan para ustadz yang tinggal dan menetap sesuai lokasi pondok pesantrennya.

Contoh sederhana, saya mencoba googling 'Tuan Guru Kapek'. Data yang dimunculkan mesin pencari ini adalah, Pondok Pesantren Al Aziziyah di jalan Kapek, Gunung sari, kabupaten Lombok Barat (Lobar). Contoh lainnya, saat saya diajak almarhumah bude mengaji ke Lombok Tengah, penyebutannya pun mudah saja, 'Tuan Guru Bodak'. Nama pondok pesantrennya sendiri, Pondok Pesantren Yatofa, di desa Bodak, Loteng (loteng).

Kembali ke TGB, tak banyak juga yang bisa saya kutipkan dari pengajian-pengajian beliau. Yang jelas, saya pernah meliput liburan beliau sekeluarga, ke salah satu spot wisata khusus di kabupaten Lombok Utara (KLU). Sudah lama. Tahun 2017 dulu. Waktu itu, beliau juga masih menjabat sebagai Gubernur NTB (Nusa Tenggara Barat).

Foto bersama TGB dan rekan-rekan blogger Sahabat Lombok Taksi. Cred. kamera Nabiya.
Foto bersama TGB dan rekan-rekan blogger Sahabat Lombok Taksi. Cred. kamera Nabiya.

Sempat terkejut ketika dihentikan dan meminta foto bersama, TGB dan Bunda Erica, tidak marah-marah. Di beberapa titik, mereka bertiga kemudian bertanya ke rombongan wartawan dan blogger (saat itu saya meliput sebagai blogger dari keluarga blogger Sahabat Lombok Taksi), apakah mau mengambil foto lagi atau tidak. Di titik ini, saya meyakini, TGB adalah sosok ustadz yang mengejawantah dalam kesehariannya. 

Spot wisata yang didatangi waktu itu, serupa kebun binatang mini. Setiap menyapa hewan-hewan yang ditemui, TGB wajib mengucapkan salam. Auto hati saya ikut merasa sejuk. Bahasa tubuh saat berinteraksi dengan Bunda Erica, juga putri beliau, jamaknya ayah kebanyakan. Ayah yang hangat. Ayah yang tak ragu bersentuhan dengan keluarga inti. Ayah yang menenangkan. Ayah yang dekat. 

Putri beliau pun tetap tenang, ketika berkeliling dengan menaiki salah seekor gajah. Malah tampak asyik, ketika TGB menunjukkan ini dan itu, di atas punggung gajah. Bagi saya, penglihatan selama setengah hari eksplor spot wisata ini, terasa sekali buah dari setiap kajian-kajian yang disampaikan TGB di banyak kesempatan.

TGB dan putri beliau, berkeliling menaiki gajah. Dokpri
TGB dan putri beliau, berkeliling menaiki gajah. Dokpri

Tak banyak memang. Terakhir yang saya ingat, sambil lalu mendengarkan khotbah beliau, dari rekaman ulang khotbah saat perayaan milad Ormas NWDI. Lebih dikenal juga dengan Nadhatul Wathan, dengan basis terbesar di Pancor, Lotim. Kampus dan berbagai sekolahnya, tak sampai 3 km dari rumah saya. 

Alhamdulillah, semoga berkat tema tulisan hari ini, saya bisa semakin rajin menyimak kajian-kajian TGB. Lalu, semoga pula, dari kajian-kajian tersebut, bisa saya teruskan ke teman-teman pembaca setia Kompasiana.

Bahwa, menjadi seorang ustadz atau ustadzah, tentu sangat benar jangan terlepas dari semua makna atau arti kata ini. Frasa yang cukup berat, mengingat sangat lumrah jika ada pengharapan berlebih, ketika kita disandingkan dengan 'gelar' ini.

Sedikit penutup, ketika mencari referensi di web Kemenag dengan kata kunci 'ustadz', tak banyak ulasan terkait sifat-sifat teladan umum yang sebaiknya dimiliki seorang ustadz atau ustadzah. Bahkan saat tergoda membaca ulasan tentang Ustadz Duta Moderasi Beragama, sekitar 10 paragraf tulisan lebih menitikberatkan pada proses acara dan penyematan gelar. Dua kondisi yang membuat sang ustadz menjadi duta: 'Mensyiarkan Islam yang Rahmatan Lil 'alamin dan Islam yang damai'.

Jadi teringat kembali, salah satu tema Dialog Kebangsaan beberapa waktu lalu. Program Moderasi Beragama yang digalakkan Kemenag, menyasar 'ummat' yang waktunya kini lebih banyak tersita di media sosial (medsos). Medsos yang mana? Merujuk ke update dari Hootsuite yang sering dipergunakan di modul-modul literasi digital, medsos seperti Instagram, Tiktok, Youtube, Facebook atau Twitter.

Jadi, masih sulit menemukan rujukan resmi, mungkin yang dikeluarkan MUI (Majelis Ulama Indonesia), tentang batasan ideal seseorang layak 'diceluk' ustadz atau ustadzah. Atau bisa jadi, saya pribadi yang 'mengaji'nya masih kurang jauh. Untuk ini, saya tunggu ajakan mengaji, kemana, dengan siapa, online atau offline, ke ustadz atau ustadzah yang mana. InshaAllah, aamiin.

Alhamdulillah berikutnya, tepat ketika saya merasa hendak mencukupkan tulisan ini, ada satu rujukan baik yang saya temukan di web MUI. Jika salah mengutip, tentu karena kelemahan ilmu agama saya, jadi, ijinkan saya mengutip keseluruhan kalimat nggih. Semoga kebaikan dari kutipan inilah yang sampai ke sidang pembaca:

...

"Lima landasan perjuangan yang kita bawa sampai saat ini baik warosatul anbiya, khadimul ummah, al amru bil ma'ruf wan nahyu anil munkar, al iftaa, pun yang terakhir adalah al ishlah wa tajdid."

...

Lima landasan di atas, adalah bagian dari sambutan Ustadz Adi Hidayat, yang disebutkan di awal artikel sebagai 'Secara struktural mungkin tidak tercatat di MUI', namun disebutkan beberapa keluarga besar beliau menjabat di salah satu kepengurusan MUI di beberapa daerah. Lima landasan, penambah alasan mengapa kini saya semakin percaya, sosok seorang ustadz sejatinya memang sejalan antara kajian-kajian, juga tindakan di kesehariannya.

Jaman now, sebagian besar kita berjuang mematikan smartphone dan sebisa mungkin beribadah seperti era belum mengenal benda digital ini. Masih di jaman now, kita beruntung masih memiliki sosok panutan seperti TGB, atau Ustadz Adi Hidayat, atau ustadz serta ustadzah manapun. Bersama mereka, semoga kita tetap di jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberkahi, sampai akhir jaman. Bersama mereka, meski kita lekat dengan smartphone dan medsos, kajian-kajian mereka membantu kita tetap lekat di ibadah yang terbaik.  Aamiin

*Selong, 8 April 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun